A. Latar belakang
Dalam
penyelenggaraan ketatanegaraan, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen
penting untuk menyatukan kedaulatan rakyat. Pemilu juga merupakan metode yang
secara universal digunakan untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan, di
Indonesia setelah perubahan UUD 1945, tidak ada lagi anggota DPRD, DPR, MPR
yang diangkat. Semuanya dipilih secara langsung melalui Pemilu. Pemilu juga
digunakan untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah. Pilihan sistem Pemilu yang
diterapkan akan berperan menstrukturkan hubungan antara pemilih dengan calon dan selanjutnya berperan
menstrukturkan hubugan hubunga wakil dengan rakyatnya. Stuktur hubungan inilah
yang akan menentukan tingkat responsifitas wakil terhadap aspirasi rakyatnya.
Salah satu alternatif menstrukturkan hubungan dengan wakilnya adalah untuk
meningkatkan kualitas demokrasi di daerah dengan menegakkan nilai-nilai
demokrasi.
Mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri telah menempatkan masyarakat di daerah yang
membentuk Pemerintah Daerah (Pemda) melalui mekanisme Pemilu dengan memilih
anggota daerah DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Hak masyarakat daerah
membentuk pemerintahannya menunjukkan bahwa sebenarnya rumah tangga itu berada
di luar struktur pemerintahan pusat. Otonom berarti memiliki isu politik
sendiri yang bersifat lokal dan berkenaan penyelenggaraan rumah tangganya.
Namun di dalam praktik ketatanegaraan selama ini, terutama pada masa Orde Baru
(Orba), terjadi dominasi agenda politik nasional atas politik daerah yang tidak
hanya pada masalah pemerintahan saja, namun juga menyangkut sistem pemilu dan
kepartaian. Masyarakat daerah yang seharusnya
menentukan isu politk lokal untuk mengimplementasikan kedaerahannya
menjadi kesulitan karena kooptasi politik nasional akibat sistem pemilu yang
tunggal.
Tantangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini dalam bagaiman amembuat politisi
di daerah eksis dengan berbasis politik daerah dan mandiri di hadapan pimpinan
nasional partainya dalam urusan politik di daerahnya, dan yang lebih penting
adalah bagaimana membuat politisi daerah responsif terhadap aspirasi di
daerahnya. Selama ini kita menuju proses perkembangan demokrasi terpusat ke
Jawa khususnya Jakarta-sentris dan kurang memberikan tempat bagi proses
perkembangan demokrasi di daerah. Dalam kaitan ini sangat penting perihal
pembagian kewenangan antara Jakarta dan daerah-daerah, Power sharing
atau otonom seluas-luasnya secara esensi harus dimulai dan kemudian dilanjutkan
dengan money sharing (pertimbangan keuangan Pusat dan Daerah)
Sistem
Pemilu akan berperan menstukurkan hubungan antara pemilih dan politisi. Struktur
hubungan inilah yang akan menentukan tingkat responsivitas politisi terhadap
aspirasi rakyat. Selama ini, diskusi tentang modifikasi itu terfokus pada
masalah pemilihan sistem pemilu. Akibatnya, perdebatan electoral reform iu
terfokus pada pencarian salah satu sistem, plurality system atau
proportional system atau kombinasinya yang cocok dengan relitas
sosial-politik di Indonesia. Perdebatan sistem pemilu itu sangat relevan.
Tetapi, apapun politik sistemnya belum tentu bisa politisi lokal independen dan
responsif terhadap aspirasi lokal.
Untuk itu, pilihan atas
sistem Pemilu yang dipakai akan selalu menentukan pola hubungan antara
pemilihan wakilnya serta akuntabilitas kinerja lembaga legeslatif dan eksekutif
yang dibentuk melalui Pemilu itu sendiri dan tidak melupakan dengan nilai-nilai
demokrasi.
B. Rumusan Masalah
1.
Pemiludandemokratisasi di Indonesia ?
2.
Model pemilu di era otoda ?
3.
Reformasipemilu, kelebihandankekurangan?
4.
Pentinya format pemilu yang ideal dalam upaya menegakkan nilai demokrasi
?
C. Tujuan
1.
Mengatahui pemilu yang demokratis di Indonesia.
2.
Mengetahui model pemilu di era otoda.
3.
Mengetahui kelebihan dan kekurangan reformasi pemilu.
4.
Mengetahui pentingnya reformasi pemilu yang ideal dalam
upaya menegakkan nilai demokrasi.
D. Konsepsi Pemilu
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan,
rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara. Sebagai pemilik dan pemegang kakuasaan rakyat menentukan corak
dan cara pemerintahan diselenggarakan, menentukan tujuan yang hendak dicapai
negara. Namun di dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan sulit
untukmencari contohsuatu negara yang mempraktikkan, hal tersebut meskipun itu
negara kecil (rakyatnya) untuk dapat menyatakan kehendaknya sendiri-sendiri
atau secara perseorangan untuk meentukan kebijakan yang akan dilakukan
pemerintahannya.
Dalam
praktek ketatanegaraan pengisian lembaga perwakilan lazimnya dilaksanakan
melalui Pemilu, meskipun di Indonesia untuk pengisian lembaga perwakilan pernah
menggunakan sistem campuran yaitu sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Namun
setelah perbahan UUD 1945, semua anggota lembaga perwakilan dan bahkan Presiden
serta Kepala Daerah dipilih dengan mekanisme Pemilu.
Secara
universal Pemilu edalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud
membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasi aspirasi dan
kepentingan rakyat. Soedarsono mengemukakan, Pemilu adalah syarat minimal bagi
adanya demokrasi dan diselenggarakannya dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil
daerah, Presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis. Oleh karena itu dalam
perkembangan negara modern Pemilu menjadi tonggak demokrasi. Sedangkan esensi
demokrasi secara univiersal adalah pemerintahan yang dipilih langsung atau
tidak lansung melalui wakil-wakil rakyat yang representatif (mewakili rakyat).
Jadi sebenarnya yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil
rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan, yang lebih lazim disebut
parlemen. Lembaga ini setelah perubahan UUD 1945 fungsi utamanya adalah di
bidang legislasi dan budgeter.
Untuk
mencapi hasil Pemilu yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat sebagai
dasar pembentukan pemerintahan, Pemilu harus dilaksanakan di atas prinsip yang
bebas dan adil. Dalam kaitan itu, Syamsudin Haris membagi beberapa fungsi
Pemilu yang tidak bisa dipisah-pisahkan, antara lain sebagai sarana:
a. Legitimasi Politik.
Funsi ini bermakna bahwa melalui Pemilu keabsahan
pemerintah yang berkuasa dapat ditegakkan, bagitu pula progran dan kebijakan
yang dihasilkan. Selanjutnya ada tiga alasan mengenai Pemilu menjadi sarana
fungsi Legitimasi :
1. Melalui Pemilu pemerintah sebenarnya bisa
mayakinkan atau setidaknya bisa memperbaharui kesepakatan politik dengan
rakyat.
2. Melalui Pemilu pemerintah dapat pula mempengaruhi
perilaku rakyat. Menurut ahli politik, Pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi
pemerintah untuk meninkatkan respon rakyat terhadap kebijakan yang dibuatnya.
3. Dalam dunia modern para penguasa dituntut
untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk
mempertahankan legitimasi.
b. Fungsi Perwakilan Politik.
Fungsi ini menjadi kebutuhan rakyat baik dalam
rangka mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta
kebijakan yang dihasilkan. Dalam kaitan ini Pemilu merupakan mekanisme
demokrasi bagi rakyat untuk menentukan wakil yang dapat dipercaya yang akan
duduk di lembaga pemerintahan maupun lembaga legislatif.
c. Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa.
Keterkaitan Pemilu dengan sirkulasi elit
didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat
luas. Secara teoritis hubungan pemilu dengan sirkulasi elit dengan melihat
proses mobilitas kaum elit atau non-elit yang mengguanakan jalur institusi
politik pemerintahan, dan lembaga masyarakat (DPR, DPRD, Parpol, dan Ormas)
untuk menjadi elit tingkat nasional, yakni sebagai kabinet atau jabatan setara.
Jadi Pemilu merupakan sarana dan jalur langsung untuk mencapai elit penguasa.
d. Saran Pendidikan Politik.
Pemilu merupakan pendidikan politik kepada rakyat secara langsung, terbuka, dan
massal yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan
kesadaran masyarakat mengenai demokrasi. Dalam kaitan ini maka struktur,
proses, maupun fungsi Pemilu diharapkan bosa mencerdaskan dan mencerahkan wawasan
masyarakat, sehingga secara berangsur kehidupan politik dapat dipulihkan ke
arah yang lebih demokratis.
Khusus terhadap pandangan fungsi Pemilu untuk
memperkuat otoritas pemerintah yang berkuasa, AS Hikam mengemukakan
alasan-alasan:
a. Melalui Pemilu pemerintah juga dapat
meyakinkan atau setidaknya mempengaruhi kesepakatan pihak warga negara.
b. Dalam roses Pemilu pemerintah juga dapat
mempengaruhi perilaku warga negara.
c. Dalam dunia modern penguasa diharuskan
mengandalkan kesepakatan (concent)dari rakyat dapa pada pemaksaan (coersion)
untuk mempertahankan legitimasi.
Dengan cara pandang mengenai fungsi Pemilu
seperti di atas, semakin jelas bahwa Pemilu sangatlah kontekstual dengan
masyarakat dalam pembentukan pemerintahan, kontrol, dan legitimasi pemerintah
yang berkuasa. Dalam fungsi seperti ini, Pemilu juga merupakan contoh jaminan
terhadap pelaksanaan hak asasi warga negara dalam penyelenggaraan negara.
Dalam sistem demokrasi, legalitas dan
legitimasi pemerintahan menjadi faktor yang penting. Legalitas berkaitan dengan
pembebtukan pemerintahan yang harus didasarkan kepada hukum. Di pihak lain
pemerintah itu juga harus legitimate, yaitu disamping legal juga harus
dipercaya. Persoalan yang dihadapi dalam konteks indonesia adalah tata
pemerintahan yang tersusun bertingkat yaitu nasional (pusat), daerah provinsi,
dan daerah kabupaten/kota.
Masing-masing daerah berpemerintahan sendiri,
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya. Tingkatan-tingkatan pemerintahan
dengan kewenangan masing-masing yang berbeda menjadikan masing-masing tinkatan
pemerintahan memiliki isu sendir-sendiri sesuai dengan kebutuhan, dan itu
adalah nyata sebagai bansa yang pluralistik. Dalam kaitannya dengan Pemilu,
dilema lgitimasi pemerintahan sejauh Pemilu diselenggarakan secara nasional dan
partai politiknya bersifat sentralistik, di dalam praktek justru mengancam
bahkan menyingkirkan perbedaa-perbedaan. Kondisi ini menjadikan politikus lokal
kehilangan orientasi lokalnya karena terkooptasi isu dan politisi nasional.
Dengan demikian, kalau Pemilu secara esensi merupakan pengejawatan kedaulatan
rakyat, maka seharusnya Pemilu diselenggarakan secara terpisah sesuai dengan
tingkatan pemerintahan.
E. Pemilu di era Otonimi Daerah
Otonomi berasal dari dua kata : auto
berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.
Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan
mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah “mengurus rumah
tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur
atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi
Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang. Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat
Daerah Provinsi menjadi dasarpengelolaan semua potensi daerah yang ada dan
dimanfaatkan semaksimal mungkin olehdaerah yang mendapatkan hak otonomi dari
daerah pusat. Kesempatan ini sangatmenguntungkan bagi daerah-daerah yang
memiliki potensi alam yang besar untuk dapatmengelola daerah sendiri secara
mandiri, dengan peraturan pemerintah yang dulunyamengalokasikan hasil hasil
daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikankedaerah membuat daerah-daerah
baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untukmengembangkan potensi
daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.
Dengan adanya otonami daerah diharapkan daerah
tingkat I maupun Tingakat II mampumengelola daerahnya sendiri. Untuk
kepentingan rakyat demi untuk meningkatkan dan menyejahterakan rakyat secara
sosial ekonomi.
Mengatur dan mengurus pemerintahanan sendiri
di tingkat daerah tidak lain adalah pelembagaan kedaulatan rakyat di daerah
melalui sistem perwakilan. Jimly Asshiddiqie menemukakan pelembagaan kedaulatan
rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan DPD. Di
daerah pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistem
perwakilan, yaitu DPRD
Melalui mekanisme perwakilan rakyat bebas
untuk menyampaikan gagasan dan didengar pendapatnya dalam rangka pengambilan
kebijakan atau keputusan daera. Otonomi daerah memerlukan keikutsertaan rakyat
daerah, yang dalam prinsip-prinsip Good governance adalah partisipasi
masyarakat sebagaimana Kusnadi Hardjasoemantri sampaikan:
Bahwa semua warga mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang
sah yang mewkili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berddasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastuian
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Berdasarkan prinsip-prinsip itu partisipasi
merupakan kata kunci pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan
cara yang terbaik untuk mewujudkan kedaulatan rayat. Desentralisasi akan
memperluas kesempatan bagi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dibanding
cara pemerintahan yang sentralistik. Artinya partisipasi rakyat akan semakin
luas pada negara yang memiliki susunan desentralistik. Makin luas
desentralisasi, makin luas pula dasar pelaksanaan paham kerakyatan.
Sejarah mencatat bahwa Pemilu 1955 menjadi
salah satu bukti aktualisasi demokrasi modern, seperti di Sumbar. Tersebut
menunjukkan bahwa Masyumi berada di urutan pertama, dengan 49%, disusul Partai
Tarbiyah Islamiyah (Perti) sebanyak 28%, PKI 7%, dan PSII3%. Boleh dikatakan,
Sumbar adalah basisnya partai-partai islam. PNI yang memenangkan pemilhan di tingkat
nasional, hanya memperoleh 1% suara di Sumbar.
Kondisi makin parah pada masa berlakunya
DemokrasiTepimpin (1958-1966). Model kekuasaan terpusat telah menggerus nilai-nilai
budaya ‘demokrasilokal’ di Minangkabau.Militer yang mengendalikan roda pemerintahan
pasca PRRI di Sumba cenderung berhaluan ‘kiri’. Kelompok tentara ini sangat alergi
dengan anasir-anasir PRRI, Masyumi, dan PSI.dengan modal politik yang mereka miliki
pasca penumpasan PRRI, tentara berkuasa penuh, termasuk dalam ‘memilih’ pemimpin-pemimpin
local. Alhasil, pemimpin local pun menjalankan pemerintahan ala
‘DemokrasiTerpimpin’ yang bergemonik.
Dalam situasi seperti itu tidak ada inisiatif
masyarakat. Karakter demokratis yang melekat pada masyarakat local menjadi hilang.
Suara nyaring yang terdengar pada masa-masa sebelum meredup. Terutama PRRI
betul-betul meluluhkan mental masyarakat Minangkabau. Perasaan itu makin terasa
di level masyarakat bawah, khususnya di
negara-negara.
Kondisi psikologi itu mulai pulih saat
Demokrasi Terpimpin runtuh, menyusul terjadinya
G30S PKI. Namun, harapan tersebut segera
sirna kembali karena rezim Orde Baru menunjukkan watak despotiknya. Pada masa itu
seluruh organ suprastruktur politik local justru diatur secara terpusat dan seragam
tanpa mengindahkan heterogenitas system politik local yang telah eksis jauh sebelum
terbunuhnya konsep kebangsaan Indonesia. Negara yang tadinya berdaulat dan bergerak
dalam system yang demokratis dan otonom dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan
desa, suatu konsep pemerintahan yang diadopsi dari jawa. Penyeragaman sistem pemerintahan
di tingkat paling bawah membuat Negara-negara mengalami pemecahan. Sistem terpusat
ini telah menghancurkan institusi tradisional di tingkat local yang sudah berusia
ratusan tahun.
Politik sentralisasi Orde Baru,
bahkan, berdampak lebih jauh. Sistem terpusat tidak hanya mengubah sistem dan bentuk
pemerintahan local di level paling
bawah, tapi juga sangat mempengaruhi corak perilaku masyarakat Sumbar,
khususnya di bidang politik, daripada masa-masa sebelumnya. Hasil pelaksanaan pemilu-pemilu
di masa Orde Baru menunjukkan adanya perubahan tingkah laku politik masyarakat lokal
yang menjadi lebih pragmatis. Jika pada pemilu 1955 preferensi politik masyarakat
Sumbar tersedot ke berbagai partai politik, khususnya partai-partai islam, pada
masa Orde Baru mayoritas masyarakat memilih Golkar, partai pemerintah yang
notabene sekuler. Perolehan suara Golkar di Sumbar masa Orde Baru hampir selalu
melebihi rata-rata perolehan suara Golkar secara nasional.
Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Proporsional dan District
yang dianut Indonesia masihbanyak memiliki banyak kelemahan. Sistem
proporsional adalah perwakilan berimbang (proporsional representation), dengan
varian sistem daftar partai. Kemudian sistem Distrik yaitu lebih menekankan
kepada perwakilan teritorial dan komunitas.
"Salah satu kelemahan dari sistem pemilu distrik
adalah banyak suara terbuang, kemudian kurang terakomodir suara dari masyarakat
yang minoritas. Kemudian bagi sistem proporsional pemilih tidak mengenal siapa
yang dipilih, dan yang terpilih tersebut lebih bertanggungjawab kepada partai
bukan kepada masyarakat," terang Wakil Komisi Independen (KIP), Aceh Ilham
Saputra.
Paparan itu disampaikan Ilham saat memberikan materi
kepada siswa sekolah demokrasi Aceh Utara di Lhokseumawe, Sabtu (2/4/2011).
Program sekolah demokrasi Aceh Utara tersebut digelar selama setahun oleh
lembaga Sepakat, dengan jumlah peserta sekitar 35 orang dengan latar belakang
yang berbeda mulai Januri 2011.
Jika dibandingkan, kedua sistem ini masing masing
memiliki kelebihan. Namun, lebih banyak kelemahannya. "Ini yang saya
maksud, bahwa di negara kita belum ada sistem pemilihan yang
sempurna,"katanya.
Sementara itu, mantan Pembantu Rektor III Universitas
Malikussaleh (Unimal), Rasyidin MA, dalam kesempatan itu saat memberikan materi
juga menyebutkan bahwa sistem multi partai yang kini diterapkan di Indonesia
juga tak menjamin negara akan kuat. Karena selama ini partai politik tidak
melakukan kaderisasi yang baik, dan juga memberi pemahaman politik kepada
masyarakat. Eksesnya dari multi partai menyebabkan timbul persoalan,
diantaranya yang kini dilakukan, semua komoditas subsidi sekarang dicabut, sehingga
warga menjadi kalang kabut. Persoalan lain yang timbul harga rupiah yang
mengambang, dan banyak badan usaha milik negara tersebut diswastakan serta
terjadi kebocoran rahasia negara.
"Tentunya persoalan ini harus ada solusi,"
terang dosen senior di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unimal tersebut.
Rasyidin menyebutkan, solusi yang mungkin dilakukan kedepan menerapkan sistem
presidensial murni. Kemudian pemetaan hubungan antara ekeskutif dengan
legislatif harus jelas, dan sistem partai yang sederhana. "Serta membangun
paradigma bahwa intitusi parta politik bukan hanya tempat mencari rezeki, tapi
juga melakukan pengandian kepada masyarakat," terangnya.
Sementara itu Koordinator Sepakat Edi Fadhil menyebutkan,
tujuan yang diharapkan dengan materi tersebut para peserta mengetetahui
kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu, sehingga bisa mengkritisi struktur
dari pembagian kekuasaan dalam partai.
Reformasi politik dan pemerintahan di Indonesia sudah berusia 13 tahun lebih. Selama
kurun waktu itu, pemilihan umum (pemilu) yang sudah diselenggarakan tiga kali,
belum menemukan format yang baku. Menjelang Pemilu 2014, wakil rakyat di
Senayan mengusulkan agar pemilu digelar dalam dua tahap, yakni pemilu pusat
untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, serta pemilu lokal untuk memilih
anggota DPRD dan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Masing-masing
tahap pemilu tersebut dilaksanakan serentak.
Alasan yang melatarbelakangi usul
tersebut adalah untuk menekan biaya, baik yang dikeluarkan pemerintah (APBN)
untuk penyelenggaraan, maupun yang dikeluarkan para caleg, capres, dan calon
kepala daerah. Selain itu, dengan pemilu serentak akan mendorong parpol
menyusun koalisi ideologis, bukan koalisi pragmatis seperti yang terjadi saat ini.
Sebab, parpol akan dipaksa untuk menyusun koalisi berdasarkan platform, bukan
berdasarkan kalkulasi perolehan suara atau kursi di parlemen yang biasa
dilakukan menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres).
Gagasan pemilu nasional dan lokal
tersebut merupakan terobosan positif untuk membenahi pelaksanaan pesta
demokrasi agar lebih efisien dari sisi waktu dan biaya, serta efektif untuk
menciptakan parlemen dan pemerintahan yang kokoh.
Kita menyadari dua kali pemilu terakhir banyak dikritik. Pertama, dari sisi
biaya. Pelaksanaan pemilu legislatif yang terpisah dengan pemilu eksekutif
jelas menguras APBN, karena ada dua kali pengeluaran yang harus dikeluarkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti penyediaan tempat pemungutan suara (TPS),
distribusi logistik, dan honor panitia di semua tingkatan. Parpol pun harus
mengeluarkan biaya dua kali, yakni untuk membiayai kampanye pemilu legislatif
dan pilpres, serta insentif saksi-saksi di tiap-tiap TPS.
Belum lagi ditambah pemilihan umum di daerah. KPU juga harus mengeluarkan
biaya untuk pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah (pilkada), yang mencakup
sekitar 530 wilayah, mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota. Demikian pula
parpol mau tak mau juga menyiapkan anggaran untuk membiayai kampanye pemilu anggota
DPRD dan pilkada.
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama pemilu dalam format lama
dipastikan mencapai puluhan triliun rupiah. Besarnya biaya, terutama yang harus
dibelanjakan parpol tersebut, diyakini telah mendorong elite parpol menggunakan
segala cara untuk menggalang dana, termasuk “merampok” APBN melalui praktik
mafia anggaran di parlemen. Mereka mencari komisi dari proyek-proyek yang
dibiayai APBN. Itulah yang terjadi seperti dalam kasus dugaan korupsi oleh
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin.
Dengan mendorong pemilu legislatif
dan pilpres menjadi satu paket, demikian pula pemilu di daerah, kebutuhan
parpol untuk belanja pemilu tidak terlalu besar. Dengan demikian, diharapkan
pula mengikis tabiat buruk parpol menghalalkan segala cara.
Kedua, dari aspek koalisi, dari dua
pemilu sebelumnya, koalisi baru terbentuk menjelang pilpres atau setelah parpol
mengetahui hasil pemilu legislatif. Akibatnya, lahir koalisi pragmatis yang
cair, yang hanya berangkat dari kepentingan politik tidak diikat berdasar
kesamaan ideologi atau platform partai.
Modusnya, parpol menengah dan kecil merapat ke parpol besar yang berhak
mengusung pasangan capres-cawapres. Kompensasi atas dukungan itu adalah jatah
kursi di kabinet dalam jumlah proporsional sesuai jumlah kursi parlemen yang
diperoleh. Bagi parpol penguasa, koalisi itu dibutuhkan untuk mengamankan
jalannya pemerintahan oleh presiden dan wapres terpilih, terutama menggapai
dukungan di parlemen. Dipastikan, setelah lima tahun, koalisi itu bubar dengan
sendirinya, menunggu hasil pemilu berikutnya sebagai pijakan membentuk koalisi
dengan format yang berbeda.
Kelemahan dari koalisi tersebut, terbukti menciptakan situasi saling
sandera antarparpol yang tergabung dalam koalisi. Hal ini sangat kontraproduktif,
terutama dalam konteks penegakan hukum dan kebijakan yang sarat kepentingan.
Anggota koalisi saling melindungi kepentingan politiknya, sehingga penegakan
hukum dan kebijakan yang dihasilkan hanya untuk kepentingan parpol di koalisi.
Jika kepentingan salah satu anggota koalisi tak terakomodasi, koalisi semacam
ini mudah retak, karena sifatnya yang cair.
Gagasan menyatukan pemilu legislatif dan
pilpres, dipastikan akan melahirkan koalisi ideologis yang sifatnya permanen.
Anggota koalisi diikat oleh kesamaan ideologi dan platform, bukan berdasar
kepentingan politik praktis atau semata-mata hasil pemilu legislatif. Dengan
demikian, akan melahirkan pola hubungan koalisi pemerintahan dan koalisi
oposisi yang lebih sehat, yang menjamin berlangsungnya check and balances
secara murni.
Kita berharap, gagasan pemilu nasional dan
lokal itu menjadi kesepakatan DPR dan pemerintah. Sebab, selama ini kita
merasakan kelelahan yang luar biasa, terutama secara psikologis, menyaksikan
berbagai manuver dan kecurangan elite politik saat pilkada, yang terjadi hampir
sepanjang tahun. Sudah saatnya, pesta demokrasi digelar dalam format yang lebih
efektif dan efisien, dan menjamin output yang optimal dalam kehidupan politik
pemerintahan.
Zuhro, R. Siti. 2009. DemokrasiLokalPerubahandanKesinambunganNilai-nilaiBudayaPolitikLokal.Yogyakarta:
Ombak
_____. 2011Mereformasi Pemilu. Didapat dari http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/mereformasi-pemilu/14237.
SuaraPembaruan: Rabu, 30 November
Jafaruddin. 2011. didapat dari http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id/wawasan/aceh/72-sistem-pemilu-indonesia-masih-lemah. Tribune news.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar