Selasa, 22 Mei 2012

REFORMASI PEMILU MENUJU PEMISAHAN PEMILU NASIONAL DAN LOKAL



A. Latar belakang

            Dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen penting untuk menyatukan kedaulatan rakyat. Pemilu juga merupakan metode yang secara universal digunakan untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan, di Indonesia setelah perubahan UUD 1945, tidak ada lagi anggota DPRD, DPR, MPR yang diangkat. Semuanya dipilih secara langsung melalui Pemilu. Pemilu juga digunakan untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah. Pilihan sistem Pemilu yang diterapkan akan berperan menstrukturkan hubungan antara  pemilih dengan calon dan selanjutnya berperan menstrukturkan hubugan hubunga wakil dengan rakyatnya. Stuktur hubungan inilah yang akan menentukan tingkat responsifitas wakil terhadap aspirasi rakyatnya. Salah satu alternatif menstrukturkan hubungan dengan wakilnya adalah untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah dengan menegakkan nilai-nilai demokrasi.
            Mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri telah menempatkan masyarakat di daerah yang membentuk Pemerintah Daerah (Pemda) melalui mekanisme Pemilu dengan memilih anggota daerah DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Hak masyarakat daerah membentuk pemerintahannya menunjukkan bahwa sebenarnya rumah tangga itu berada di luar struktur pemerintahan pusat. Otonom berarti memiliki isu politik sendiri yang bersifat lokal dan berkenaan penyelenggaraan rumah tangganya. Namun di dalam praktik ketatanegaraan selama ini, terutama pada masa Orde Baru (Orba), terjadi dominasi agenda politik nasional atas politik daerah yang tidak hanya pada masalah pemerintahan saja, namun juga menyangkut sistem pemilu dan kepartaian. Masyarakat daerah yang seharusnya  menentukan isu politk lokal untuk mengimplementasikan kedaerahannya menjadi kesulitan karena kooptasi politik nasional akibat sistem pemilu yang tunggal.
            Tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini dalam bagaiman amembuat politisi di daerah eksis dengan berbasis politik daerah dan mandiri di hadapan pimpinan nasional partainya dalam urusan politik di daerahnya, dan yang lebih penting adalah bagaimana membuat politisi daerah responsif terhadap aspirasi di daerahnya. Selama ini kita menuju proses perkembangan demokrasi terpusat ke Jawa khususnya Jakarta-sentris dan kurang memberikan tempat bagi proses perkembangan demokrasi di daerah. Dalam kaitan ini sangat penting perihal pembagian kewenangan antara Jakarta dan daerah-daerah, Power sharing atau otonom seluas-luasnya secara esensi harus dimulai dan kemudian dilanjutkan dengan money sharing (pertimbangan keuangan Pusat dan Daerah)
            Sistem Pemilu akan berperan menstukurkan hubungan antara pemilih dan politisi. Struktur hubungan inilah yang akan menentukan tingkat responsivitas politisi terhadap aspirasi rakyat. Selama ini, diskusi tentang modifikasi itu terfokus pada masalah pemilihan sistem pemilu. Akibatnya, perdebatan electoral reform iu terfokus pada pencarian salah satu sistem, plurality system atau proportional system atau kombinasinya yang cocok dengan relitas sosial-politik di Indonesia. Perdebatan sistem pemilu itu sangat relevan. Tetapi, apapun politik sistemnya belum tentu bisa politisi lokal independen dan responsif terhadap aspirasi lokal.
            Untuk itu, pilihan atas sistem Pemilu yang dipakai akan selalu menentukan pola hubungan antara pemilihan wakilnya serta akuntabilitas kinerja lembaga legeslatif dan eksekutif yang dibentuk melalui Pemilu itu sendiri dan tidak melupakan dengan nilai-nilai demokrasi.

B. Rumusan Masalah

1.                  Pemiludandemokratisasi di Indonesia ?
2.                  Model pemilu di era otoda ?
3.                  Reformasipemilu, kelebihandankekurangan?
4.                  Pentinya format pemilu yang ideal dalam upaya menegakkan nilai demokrasi ?

C. Tujuan

1.                  Mengatahui pemilu yang demokratis di Indonesia.
2.                  Mengetahui model pemilu di era otoda.
3.                  Mengetahui kelebihan dan kekurangan reformasi pemilu.
4.                  Mengetahui pentingnya reformasi pemilu yang ideal dalam upaya menegakkan nilai demokrasi.

D. Konsepsi Pemilu

          Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan, rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Sebagai pemilik dan pemegang kakuasaan rakyat menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan, menentukan tujuan yang hendak dicapai negara. Namun di dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan sulit untukmencari contohsuatu negara yang mempraktikkan, hal tersebut meskipun itu negara kecil (rakyatnya) untuk dapat menyatakan kehendaknya sendiri-sendiri atau secara perseorangan untuk meentukan kebijakan yang akan dilakukan pemerintahannya.
            Dalam praktek ketatanegaraan pengisian lembaga perwakilan lazimnya dilaksanakan melalui Pemilu, meskipun di Indonesia untuk pengisian lembaga perwakilan pernah menggunakan sistem campuran yaitu sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Namun setelah perbahan UUD 1945, semua anggota lembaga perwakilan dan bahkan Presiden serta Kepala Daerah dipilih dengan mekanisme Pemilu.
            Secara universal Pemilu edalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat. Soedarsono mengemukakan, Pemilu adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakannya dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah, Presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis. Oleh karena itu dalam perkembangan negara modern Pemilu menjadi tonggak demokrasi. Sedangkan esensi demokrasi secara univiersal adalah pemerintahan yang dipilih langsung atau tidak lansung melalui wakil-wakil rakyat yang representatif (mewakili rakyat). Jadi sebenarnya yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan, yang lebih lazim disebut parlemen. Lembaga ini setelah perubahan UUD 1945 fungsi utamanya adalah di bidang legislasi dan budgeter.
            Untuk mencapi hasil Pemilu yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat sebagai dasar pembentukan pemerintahan, Pemilu harus dilaksanakan di atas prinsip yang bebas dan adil. Dalam kaitan itu, Syamsudin Haris membagi beberapa fungsi Pemilu yang tidak bisa dipisah-pisahkan, antara lain sebagai sarana:
a.       Legitimasi Politik.
Funsi ini bermakna bahwa melalui Pemilu keabsahan pemerintah yang berkuasa dapat ditegakkan, bagitu pula progran dan kebijakan yang dihasilkan. Selanjutnya ada tiga alasan mengenai Pemilu menjadi sarana fungsi Legitimasi :
1.      Melalui Pemilu pemerintah sebenarnya bisa mayakinkan atau setidaknya bisa memperbaharui kesepakatan politik dengan rakyat.
2.      Melalui Pemilu pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat. Menurut ahli politik, Pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meninkatkan respon rakyat terhadap kebijakan yang dibuatnya.
3.      Dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.
b.      Fungsi Perwakilan Politik.
Fungsi ini menjadi kebutuhan rakyat baik dalam rangka mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta kebijakan yang dihasilkan. Dalam kaitan ini Pemilu merupakan mekanisme demokrasi bagi rakyat untuk menentukan wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk di lembaga pemerintahan maupun lembaga legislatif.
c.       Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa.
Keterkaitan Pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas. Secara teoritis hubungan pemilu dengan sirkulasi elit dengan melihat proses mobilitas kaum elit atau non-elit yang mengguanakan jalur institusi politik pemerintahan, dan lembaga masyarakat (DPR, DPRD, Parpol, dan Ormas) untuk menjadi elit tingkat nasional, yakni sebagai kabinet atau jabatan setara. Jadi Pemilu merupakan sarana dan jalur langsung untuk mencapai elit penguasa.
d.      Saran Pendidikan Politik.
Pemilu merupakan pendidikan politik  kepada rakyat secara langsung, terbuka, dan massal yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi. Dalam kaitan ini maka struktur, proses, maupun fungsi Pemilu diharapkan bosa mencerdaskan dan mencerahkan wawasan masyarakat, sehingga secara berangsur kehidupan politik dapat dipulihkan ke arah yang lebih demokratis.
Khusus terhadap pandangan fungsi Pemilu untuk memperkuat otoritas pemerintah yang berkuasa, AS Hikam mengemukakan alasan-alasan:
a.       Melalui Pemilu pemerintah juga dapat meyakinkan atau setidaknya mempengaruhi kesepakatan pihak warga negara.
b.      Dalam roses Pemilu pemerintah juga dapat mempengaruhi perilaku warga negara.
c.       Dalam dunia modern penguasa diharuskan mengandalkan kesepakatan (concent)dari rakyat dapa pada pemaksaan (coersion) untuk mempertahankan legitimasi.
Dengan cara pandang mengenai fungsi Pemilu seperti di atas, semakin jelas bahwa Pemilu sangatlah kontekstual dengan masyarakat dalam pembentukan pemerintahan, kontrol, dan legitimasi pemerintah yang berkuasa. Dalam fungsi seperti ini, Pemilu juga merupakan contoh jaminan terhadap pelaksanaan hak asasi warga negara dalam penyelenggaraan negara.
Dalam sistem demokrasi, legalitas dan legitimasi pemerintahan menjadi faktor yang penting. Legalitas berkaitan dengan pembebtukan pemerintahan yang harus didasarkan kepada hukum. Di pihak lain pemerintah itu juga harus legitimate, yaitu disamping legal juga harus dipercaya. Persoalan yang dihadapi dalam konteks indonesia adalah tata pemerintahan yang tersusun bertingkat yaitu nasional (pusat), daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Masing-masing daerah berpemerintahan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya. Tingkatan-tingkatan pemerintahan dengan kewenangan masing-masing yang berbeda menjadikan masing-masing tinkatan pemerintahan memiliki isu sendir-sendiri sesuai dengan kebutuhan, dan itu adalah nyata sebagai bansa yang pluralistik. Dalam kaitannya dengan Pemilu, dilema lgitimasi pemerintahan sejauh Pemilu diselenggarakan secara nasional dan partai politiknya bersifat sentralistik, di dalam praktek justru mengancam bahkan menyingkirkan perbedaa-perbedaan. Kondisi ini menjadikan politikus lokal kehilangan orientasi lokalnya karena terkooptasi isu dan politisi nasional. Dengan demikian, kalau Pemilu secara esensi merupakan pengejawatan kedaulatan rakyat, maka seharusnya Pemilu diselenggarakan secara terpisah sesuai dengan tingkatan pemerintahan.

E. Pemilu di era Otonimi Daerah

            Otonomi berasal dari dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang. Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasarpengelolaan semua potensi daerah yang ada dan dimanfaatkan semaksimal mungkin olehdaerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini sangatmenguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang besar untuk dapatmengelola daerah sendiri secara mandiri, dengan peraturan pemerintah yang dulunyamengalokasikan hasil hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikankedaerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untukmengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.
Dengan adanya otonami daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingakat II mampumengelola daerahnya sendiri. Untuk kepentingan rakyat demi untuk meningkatkan dan menyejahterakan rakyat secara sosial ekonomi.
Mengatur dan mengurus pemerintahanan sendiri di tingkat daerah tidak lain adalah pelembagaan kedaulatan rakyat di daerah melalui sistem perwakilan. Jimly Asshiddiqie menemukakan pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan DPD. Di daerah pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu DPRD
Melalui mekanisme perwakilan rakyat bebas untuk menyampaikan gagasan dan didengar pendapatnya dalam rangka pengambilan kebijakan atau keputusan daera. Otonomi daerah memerlukan keikutsertaan rakyat daerah, yang dalam prinsip-prinsip Good governance adalah partisipasi masyarakat sebagaimana Kusnadi Hardjasoemantri sampaikan:
Bahwa semua warga mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewkili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berddasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastuian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Berdasarkan prinsip-prinsip itu partisipasi merupakan kata kunci pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan cara yang terbaik untuk mewujudkan kedaulatan rayat. Desentralisasi akan memperluas kesempatan bagi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dibanding cara pemerintahan yang sentralistik. Artinya partisipasi rakyat akan semakin luas pada negara yang memiliki susunan desentralistik. Makin luas desentralisasi, makin luas pula dasar pelaksanaan paham kerakyatan.
Sejarah mencatat bahwa Pemilu 1955 menjadi salah satu bukti aktualisasi demokrasi modern, seperti di Sumbar. Tersebut menunjukkan bahwa Masyumi berada di urutan pertama, dengan 49%, disusul Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti) sebanyak 28%, PKI 7%, dan PSII3%. Boleh dikatakan, Sumbar adalah basisnya partai-partai islam. PNI yang memenangkan pemilhan di tingkat nasional, hanya memperoleh 1% suara di Sumbar.
Kondisi makin parah pada masa berlakunya DemokrasiTepimpin (1958-1966). Model kekuasaan terpusat telah menggerus nilai-nilai budaya ‘demokrasilokal’ di Minangkabau.Militer yang mengendalikan roda pemerintahan pasca PRRI di Sumba cenderung berhaluan ‘kiri’. Kelompok tentara ini sangat alergi dengan anasir-anasir PRRI, Masyumi, dan PSI.dengan modal politik yang mereka miliki pasca penumpasan PRRI, tentara berkuasa penuh, termasuk dalam ‘memilih’ pemimpin-pemimpin local. Alhasil, pemimpin local pun menjalankan pemerintahan ala ‘DemokrasiTerpimpin’ yang bergemonik.
Dalam situasi seperti itu tidak ada inisiatif masyarakat. Karakter demokratis yang melekat pada masyarakat local menjadi hilang. Suara nyaring yang terdengar pada masa-masa sebelum meredup. Terutama PRRI betul-betul meluluhkan mental masyarakat Minangkabau. Perasaan itu makin terasa di level masyarakat bawah,  khususnya di negara-negara.
Kondisi psikologi itu mulai pulih saat Demokrasi Terpimpin runtuh,  menyusul terjadinya G30S PKI. Namun,  harapan tersebut segera sirna kembali karena rezim Orde Baru menunjukkan watak despotiknya. Pada masa itu seluruh organ suprastruktur politik local justru diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas system politik local yang telah eksis jauh sebelum terbunuhnya konsep kebangsaan Indonesia. Negara yang tadinya berdaulat dan bergerak dalam system yang demokratis dan otonom dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan desa, suatu konsep pemerintahan yang diadopsi dari jawa. Penyeragaman sistem pemerintahan di tingkat paling bawah membuat Negara-negara mengalami pemecahan. Sistem terpusat ini telah menghancurkan institusi tradisional di tingkat local yang sudah berusia ratusan tahun.
Politik sentralisasi Orde Baru, bahkan, berdampak lebih jauh. Sistem terpusat tidak hanya mengubah sistem dan bentuk pemerintahan  local di level paling bawah, tapi juga sangat mempengaruhi corak perilaku masyarakat Sumbar, khususnya di bidang politik, daripada masa-masa sebelumnya. Hasil pelaksanaan pemilu-pemilu di masa Orde Baru menunjukkan adanya perubahan tingkah laku politik masyarakat lokal yang menjadi lebih pragmatis. Jika pada pemilu 1955 preferensi politik masyarakat Sumbar tersedot ke berbagai partai politik, khususnya partai-partai islam, pada masa Orde Baru mayoritas masyarakat memilih Golkar, partai pemerintah yang notabene sekuler. Perolehan suara Golkar di Sumbar masa Orde Baru hampir selalu melebihi rata-rata perolehan suara Golkar secara nasional.
Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Proporsional dan District yang dianut Indonesia masihbanyak memiliki banyak kelemahan. Sistem proporsional adalah perwakilan berimbang (proporsional representation), dengan varian sistem daftar partai. Kemudian sistem Distrik yaitu lebih menekankan kepada perwakilan teritorial dan komunitas.

"Salah satu kelemahan dari sistem pemilu distrik adalah banyak suara terbuang, kemudian kurang terakomodir suara dari masyarakat yang minoritas. Kemudian bagi sistem proporsional pemilih tidak mengenal siapa yang dipilih, dan yang terpilih tersebut lebih bertanggungjawab kepada partai bukan kepada masyarakat," terang Wakil Komisi Independen (KIP), Aceh Ilham Saputra.

Paparan itu disampaikan Ilham saat memberikan materi kepada siswa sekolah demokrasi Aceh Utara di Lhokseumawe, Sabtu (2/4/2011). Program sekolah demokrasi Aceh Utara tersebut digelar selama setahun oleh lembaga Sepakat, dengan jumlah peserta sekitar 35 orang dengan latar belakang yang berbeda mulai Januri 2011.

Jika dibandingkan, kedua sistem ini masing masing memiliki kelebihan. Namun, lebih banyak kelemahannya. "Ini yang saya maksud, bahwa di negara kita belum ada sistem pemilihan yang sempurna,"katanya.

Sementara itu, mantan Pembantu Rektor III Universitas Malikussaleh (Unimal), Rasyidin MA, dalam kesempatan itu saat memberikan materi juga menyebutkan bahwa sistem multi partai yang kini diterapkan di Indonesia juga tak menjamin negara akan kuat. Karena selama ini partai politik tidak melakukan kaderisasi yang baik, dan juga memberi pemahaman politik kepada masyarakat. Eksesnya dari multi partai menyebabkan timbul persoalan, diantaranya yang kini dilakukan, semua komoditas subsidi sekarang dicabut, sehingga warga menjadi kalang kabut. Persoalan lain yang timbul harga rupiah yang mengambang, dan banyak badan usaha milik negara tersebut diswastakan serta terjadi kebocoran rahasia negara.

"Tentunya persoalan ini harus ada solusi," terang dosen senior di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unimal tersebut. Rasyidin menyebutkan, solusi yang mungkin dilakukan kedepan menerapkan sistem presidensial murni. Kemudian pemetaan hubungan antara ekeskutif dengan legislatif harus jelas, dan sistem partai yang sederhana. "Serta membangun paradigma bahwa intitusi parta politik bukan hanya tempat mencari rezeki, tapi juga melakukan pengandian kepada masyarakat," terangnya.

Sementara itu Koordinator Sepakat Edi Fadhil menyebutkan, tujuan yang diharapkan dengan materi tersebut para peserta mengetetahui kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu, sehingga bisa mengkritisi struktur dari pembagian kekuasaan dalam partai.


            Reformasi politik dan pemerintahan di Indonesia sudah berusia 13 tahun lebih. Selama kurun waktu itu, pemilihan umum (pemilu) yang sudah diselenggarakan tiga kali, belum menemukan format yang baku. Menjelang Pemilu 2014, wakil rakyat di Senayan mengusulkan agar pemilu digelar dalam dua tahap, yakni pemilu pusat untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, serta pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Masing-masing tahap pemilu tersebut dilaksanakan serentak.

            Alasan yang melatarbelakangi usul tersebut adalah untuk menekan biaya, baik yang dikeluarkan pemerintah (APBN) untuk penyelenggaraan, maupun yang dikeluarkan para caleg, capres, dan calon kepala daerah. Selain itu, dengan pemilu serentak akan mendorong parpol menyusun koalisi ideologis, bukan koalisi pragmatis seperti yang terjadi saat ini. Sebab, parpol akan dipaksa untuk menyusun koalisi berdasarkan platform, bukan berdasarkan kalkulasi perolehan suara atau kursi di parlemen yang biasa dilakukan menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres).

            Gagasan pemilu nasional dan lokal tersebut merupakan terobosan positif untuk membenahi pelaksanaan pesta demokrasi agar lebih efisien dari sisi waktu dan biaya, serta efektif untuk menciptakan parlemen dan pemerintahan yang kokoh.

            Kita menyadari dua kali pemilu terakhir banyak dikritik. Pertama, dari sisi biaya. Pelaksanaan pemilu legislatif yang terpisah dengan pemilu eksekutif jelas menguras APBN, karena ada dua kali pengeluaran yang harus dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti penyediaan tempat pemungutan suara (TPS), distribusi logistik, dan honor panitia di semua tingkatan. Parpol pun harus mengeluarkan biaya dua kali, yakni untuk membiayai kampanye pemilu legislatif dan pilpres, serta insentif saksi-saksi di tiap-tiap TPS.

            Belum lagi ditambah pemilihan umum di daerah. KPU juga harus mengeluarkan biaya untuk pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah (pilkada), yang mencakup sekitar 530 wilayah, mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota. Demikian pula parpol mau tak mau juga menyiapkan anggaran untuk membiayai kampanye pemilu anggota DPRD dan pilkada.

            Keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama pemilu dalam format lama dipastikan mencapai puluhan triliun rupiah. Besarnya biaya, terutama yang harus dibelanjakan parpol tersebut, diyakini telah mendorong elite parpol menggunakan segala cara untuk menggalang dana, termasuk “merampok” APBN melalui praktik mafia anggaran di parlemen. Mereka mencari komisi dari proyek-proyek yang dibiayai APBN. Itulah yang terjadi seperti dalam kasus dugaan korupsi oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin.

            Dengan mendorong pemilu legislatif dan pilpres menjadi satu paket, demikian pula pemilu di daerah, kebutuhan parpol untuk belanja pemilu tidak terlalu besar. Dengan demikian, diharapkan pula mengikis tabiat buruk parpol menghalalkan segala cara.

            Kedua, dari aspek koalisi, dari dua pemilu sebelumnya, koalisi baru terbentuk menjelang pilpres atau setelah parpol mengetahui hasil pemilu legislatif. Akibatnya, lahir koalisi pragmatis yang cair, yang hanya berangkat dari kepentingan politik tidak diikat berdasar kesamaan ideologi atau platform partai.

            Modusnya, parpol menengah dan kecil merapat ke parpol besar yang berhak mengusung pasangan capres-cawapres. Kompensasi atas dukungan itu adalah jatah kursi di kabinet dalam jumlah proporsional sesuai jumlah kursi parlemen yang diperoleh. Bagi parpol penguasa, koalisi itu dibutuhkan untuk mengamankan jalannya pemerintahan oleh presiden dan wapres terpilih, terutama menggapai dukungan di parlemen. Dipastikan, setelah lima tahun, koalisi itu bubar dengan sendirinya, menunggu hasil pemilu berikutnya sebagai pijakan membentuk koalisi dengan format yang berbeda.

            Kelemahan dari koalisi tersebut, terbukti menciptakan situasi saling sandera antarparpol yang tergabung dalam koalisi. Hal ini sangat kontraproduktif, terutama dalam konteks penegakan hukum dan kebijakan yang sarat kepentingan. Anggota koalisi saling melindungi kepentingan politiknya, sehingga penegakan hukum dan kebijakan yang dihasilkan hanya untuk kepentingan parpol di koalisi. Jika kepentingan salah satu anggota koalisi tak terakomodasi, koalisi semacam ini mudah retak, karena sifatnya yang cair.

Gagasan menyatukan pemilu legislatif dan pilpres, dipastikan akan melahirkan koalisi ideologis yang sifatnya permanen. Anggota koalisi diikat oleh kesamaan ideologi dan platform, bukan berdasar kepentingan politik praktis atau semata-mata hasil pemilu legislatif. Dengan demikian, akan melahirkan pola hubungan koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi yang lebih sehat, yang menjamin berlangsungnya check and balances secara murni.

          Kita berharap, gagasan pemilu nasional dan lokal itu menjadi kesepakatan DPR dan pemerintah. Sebab, selama ini kita merasakan kelelahan yang luar biasa, terutama secara psikologis, menyaksikan berbagai manuver dan kecurangan elite politik saat pilkada, yang terjadi hampir sepanjang tahun. Sudah saatnya, pesta demokrasi digelar dalam format yang lebih efektif dan efisien, dan menjamin output yang optimal dalam kehidupan politik pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Zuhro, R. Siti. 2009. DemokrasiLokalPerubahandanKesinambunganNilai-nilaiBudayaPolitikLokal.Yogyakarta: Ombak
_____. 2011Mereformasi  Pemilu. Didapat dari http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/mereformasi-pemilu/14237. SuaraPembaruan: Rabu, 30 November
Jafaruddin. 2011. didapat dari http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id/wawasan/aceh/72-sistem-pemilu-indonesia-masih-lemah. Tribune news.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar