PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu tokoh pendidikan di kalangan kaum muslimin adalah Abu Hasan Al-Qabisi,
yang merupakan murid Ibnu Sahnun, Ibnu Shanun adalah seorang tokoh pendidik
angkatan pertama di kalangan umat islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli
fiqih yang bermadzhab Maliki. Pemikiran Ibnu Shanun mengenai pendidikan banyak
menyoroti tentang perilaku pendidik, dan yang paling diperhatikan adalah
berkenaan dengan kompetensi pendidik itu sendiri.Selain tanggungjawab itu
sendiri dalam mengajar, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan atau
kapasitas keilmuan yang mumpuni,[1]
sehingga pemikirannya tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh gurunya. Al-Qabisi
terkenal pada masanya abad 4 dengan karyanya yaitu “Ahwalul al-Muta’allimin wa
ahkam Al-Mu’allimin wal Muta’alimin” yang berisi tentang pemikiran pendidikan.
Banyak hal yang
seharusnya dapat dipelajari dari pemikiran pendidikan Al-Qabisi terutama
tentang konsep pendidikan dan pengajaran, dimana Al-Qabisi yang pertama kali
membicarakan tentang pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan dalam
belajar sebab salah satu yang dapat menganggu masuknya ilmu adalah karena
rusaknya pikiran akibat percampuran antara laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia telah
banyak lembaga pendidikan yang menggunakan konsep tersebut salah satunya adalah
lembaga pendidikan Islam Pesantren Gontor, pondok pesantren al-Irsyad dan masih
banyak lagi lembaga pendidikan yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan,
hal ini tentunya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Malaysia adalah
salah satu Negara Asian yang juga telah mengembangkan konsep pemikiran
pendidikan al-Qabisi, sehingga tidak heran jika banyak buku-buku yang
mengangkat konsep pendidikan al-Qabisi yang diterbitkan secara luas.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
biografi tentang tokoh Al-Qobisi ?
2. Bagaimana
pemikiran Al-Qobisi dalam kontek pendidikan masa sekarang ?
3. Bagaimana
relevansi pemikiran Al-Qobisi ?
C.
Biografi
Al-Qobisi
Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan
Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah
penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih
mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia
(wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan Rajab
tahun 324 H-935M.beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H. Bertepan
pada tanggal 23 Oktober 1012. Literatur-literatur tidak menyebutkan
perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisi bukan dari keturunan
ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal
keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah
ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Al-Qadhi’iyah pernah mengatakan bahwa Abu Hasan ini bukanlah
dari kafilah Al-Qabisy, tetapi karena pamannya mengenakan surban di kepalanya
rapat-rapat yang bertentangan dengan kebiasaan dari orang Qabisy, maka ia
diberi nama Al-Qabisi. Sebenarnya ia adalah penduduk Qaeruan. Pendapat ini
sesuai dengan keterangan As-Shafdi yang menyatakan bahwa nama Al-Qabisi itu
diberikan kepadanya karena pamannya mengenakan surban terlalu ketat di
kepalanya.[3]
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia
mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at
dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali
memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat
menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisi pernah mengatakan tentang gurunya ini:
“Saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas.
Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu
Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad
bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisi pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan
menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan
sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar
seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu
yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada
Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan
hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy mengajar
pada sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah
ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut
ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan
Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy,
Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu
Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.[4]
Al-Qabisi hidup
dalam kondisi sosial keagamaan yang semarak dan sangat mantap dengan
mempelajari, menyebarluaskan dan mengajarkannya.Dimana lebih banyak diwarnai
aliran Mazhab Maliki, satu aliran yang tergolong ahlussunnah, sehingga tuntutan masyarakat dalam bidang pendidikan cenderung
pada masalah-masalah keagamaan.
Dunia pendidikan
diwaktu itu banyak diwarnai oleh pemikir Islam klasik yang konsen terhadap
masalah pendidikan yaitu Ibnu Sahnun, dengan karyanya bernama "Adabal
al-Mualllimin" sebuah kitab kecil tentang pendidikan yang akhirnya nanti,
banyak mempengaruhi pemikiran Al-Qabisi.
Al-Qabisi
merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab.la
menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya al-Mumahid
fi al-Fiqh dan al-I'tiqadat.Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan
berjudul: "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa
al-Muta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta
hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80
halaman dan dibagi ke dalam 3 juz.
D.
Latar Belakang
Karir Intelektual
Sebagaimana
lazimnnya para pelajar muslim pada masa kerajaan Islam dalam mencari ilmu
pengetahuan, yaitu dengan berpindah-pindah tempat belajar dan mencari sejumlah
guru dengan disiplin ilmu yang berbeda pula. Tak terkecuali al-Qabisi yang
hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu.Dengan demikian tidak mengherankan
jika ulama terdahulu memiliki banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Di Kairawan Afrika beliau belajar kepada sejumlah
ulama ternama di antaranya :
Abul 'Abbas
at-Tamimy (w.352 H) seorang ahli
fiqih yang bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia.Darinyalah al-Qabisi mendapat
sejumlah nama-nama guru, baik dari Timur maupun dari Barat dunia Islam tempat
beliau melanjutkan rihlah ilmiah nantinya.
Ibnu Masrur
ad-Dibagh (w.359 H)
Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H),
seorang faqih yang bermazhab Maliki di Kairawan.
Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)
Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang
disegani karena kewara'an dan kemulian pribadinya.
Durras bin
Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang
faqih yang berhaluan Asy'Ary dalam Theologi
Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama yang
produktif dalam menulis berbagai kitab tentang ilmu Tasawuf.(w.370 H)
Abu Ishak
al-Jibinyani (w.369 H) seorang
ulama yang terkenal karena permohonannya.
Di
Afrika kelihatannya al-Qabisi banyak belajar tentang ilmu fiqih dan akhlak.Oleh
karenanya, pada tahun 352 H bertepatan dengan 963 M al-Qabisi berangkat ke
Timur tepatnya tanah Hijaz dan Mesir.Tujuan utama adalah menunaikan haji, di
samping belajar mencari ilmu pengetahuan. Disana beliau belajar kepada sejumlah
guru, diantaranya:
Abul Qasim
Hamzah bin Muhammad al-Kinani,
seorang 'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi belajar kitab hadist
An-nasa'i.
Abu Zaid
Muhammad bin Ahmad al-Marwazi
seorang ulama Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih al-Bukhory.
Abul Fath bin
Budhan (w.359) ulama Mesir
ahli qiraah.
Abu Bakar
Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali,
seorang ulama terkenal di Mesir, dari beliau al-Qabisi banyak mengambil teladan.
Abu Ahmad
Muhammad bin Ahmad al-Jurjani
salah seorang ulama perawi Shahih Bukhary
Abu Dzar
al-Harwi (w.434 H), seorang
faqih Maliki yang terkenal dengan karyanya Musnal al-Muwaththa' darinyalah
al-Qabisi mempelajari hadist Imam Maliki dengan kitabnya al- Muwaththa’.
Pada
tahun 357H/967M beliau pulang ke Kairawan untuk menerapkan ilmu yang telah
dikuasainya.Dari perjalanannya mencari ilmu pengetahuan menghantarkannya
menjadi seorang alim dalam fiqih dan hadist.Di Kairawan beliau menjadi seorang
guru sekaligus kepala madrasah al-Malikiyah yaitu madrasah al-Fikriyah al-Aqa'idiyah
menggantikan teman sepergurunnya Ibnu Abi Zaid al-Kairawan (w.389 H).Banyak
murid yng belajar kepada beliau dan selanjutnya menjadi ulama besar, bail dari
Afrika maupun dari luar Afrika, terutama dari Andalusia.
Di tinjau dari keadaan politik mada itu
(324-403 H masa kehidupan al-Qabisi) Afrika dikuasai oleh dinasty Fathimiyah
yang bermazhab Syi'ah.Ketika itu dynasty Fathimiyah dipimpin oleh kekhalifahan
al-Mu'iz li Dininillah. Pada tahun 362 H Mesir ditaklukkan dan dikuasai
oleh khalifah al-Mu'iz di bawah panglima Jauhar al-Shiqli. Di bawah kekuasaan
Syi'ah ekstrim ini, al-Qabisi mampu berhaluan Asy'ary bermazhabkan fiqih
Maliki. Oleh karena itu, dapat kita lihat tidak adanya subsidi pemerintah
terhadap madrasah yang beliau pimpin.
Dari penjelasan ditas dapat dilihat, bahwa al-Qabisi adalah seorang
ahli hadist dan ulama bermazhab Maliki serta di beliau hidup dimasa kekuasaan
Syi'ah yang ekstrim.Pengalamannya menjadi guru dan pemimpin madrasah,
menghantarkan al-qabisi sebagai ahli dalam bidang pendidikan.Latar belakang ini
mempengaruhi konsepnya tentang pendidikan Islam.Keahliannya yang begitu kuat
dalam bidang Fiqih dan hadist mrmbust sl-Qabisi telah mengambil corak pemikiran
keislaman normative, tetapi bukan berarti doktrin.Dengan demikian, maka acuan
yang digunakan dalam merumuskan pemikirannya ternasuk bidang pendidikan adalah
paradigma fiqih dan hadist.
Keahlian
al-Qabisi dalam tiga bidang ini dapat kita lihat dari karya-karyanya. Dalam
meniti karirnya al-Qabisi telah mampu menulis berbagai kitab di antaranya:
كتان الملخص
لمسند مو طا مالك ابن انس
كتاب الممهد في
الفقه
كتاب الئبه
المفطن والمبعد من شبه التويل
احكام الد يقه
كتاب منا سك
الحج
كتاب رتب العلم
واحول اهله
كتاب
الر ساله المفصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين
E. Pemikiran Al-Qobisi
Dalam konsep pendidikan al-Qabisi,
ada beberapa pemikiran atau pandangan, yaitu tentang pendidikan anak, tujuan
pendidikan, kurikulum, metode da teknik belajar, percampuran belajar antara
murid laki-laki dan perempuan dan demokrasi dalam pendidikan.
Abdul Ashir Samsuddin, menjelaskan
pandangan al-Qabisi terhadap pendidikan dan pengajaran yang membahas tentang
belajar alquran dan mengajarkannya adalah wajib bagi setiap muslim, adab
belajar dan syarat-syaratnya, adab mengajar dan syarat-syaratnya, metode
mengajar dan asas pendidikan, keihklasan dan aturan-aturan.
Berikut konsep
yang diberikan oleh al-Qobisi
1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi
memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di
kuttab-kuttab.Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat
strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara, oleh karena itu
pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang
tinggi.
Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan
hadis mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak
di kuttab-kuttab.Barangkali pendapatnya tentang pendidikan anak-anak ini
merupakan tiang yang pertama dalam pendidikan Islam dan juga bagi pendidikan
umat yang lainnya.Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni, maka mengajar
anak-anak sebagai tuntunan bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu yang
harus dilaksankan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti
membangun piramida pendidikan (institusi pendidikan, pen). Berdasarkan fondasi
yang kokoh dan kuat, oleh karena itu ia tidak menjelaskan kepada kita dalam
kitabnya “al-Mufasshalat” tentang metoda pengajaran yang lain, hanya
mencukupkan dengan metoda pengajaran yang penting-penting.
Al-Qabisi tidak menentukan usia
tertentu untuk menyekolahkan anak di lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan
anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara
fasih yakni pada usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis
Nabi). Rasulullah saw bersabda :” Perintahlah anak-anak kalian untuk
mengerjakan sholat pada waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu
usia sepuluh tahun.” Dari sabda Nabi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam dimulai pertama-tama di rumah.Pendidikan anak di lembaga
al-Kuttab hanyalah kelanjutan daripada tugas pendidikan yang wajib ditunaikan
oleh kedua orang tua di rumah.Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar
menghafal alqur’an, lalu diajar menulis, dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke
rumah masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab untuk
belajar lagi sampai sore.
Anak-anak yang belajar di kuttab
berlangsung sampai akil baligh, yang mempelajari berbagai ilmu seperti
alqur’an, tulis menulis, nahwu dan bahasa Arab, juga seringkali belajar ilmu
hitung dan syair serta kisah-kiah Arab.Akan tetapi yang terpenting adalah
mempelajari alqur’an yang dimulai dengan menghafal secara individual ataupun
kelompok dimana guru membaca berulang kali ayat-ayat pada langkah pertamanya,
kemudian anak-anak membacanya beruang-ulang mengikuti gurunya. Masing-masing
anak diberi batu tulis untuk menuliskan apa yang telah dihafal setiap harinya.
Dengan cara ini jelaslah bahwa kemampuan menulis dan membaca menjadi syarat
mutlak untuk memahami alqur’an, kemudian anak diharuskan menunjukkan apa yang
ditulis di dalam batu tulisanya pada hari berikutnya, lalu apa yang dituliskan
di batu tulis (pada hari kemarin) dihapus untuk ditulisi lagi dengan ayat-ayat
berikutnya pada hari selanjutnya.
Metoda pengajaran dengan mengerjakan
tugas berulang kali demikian disertai dengan hafalan, tolong menolong antara
satu dengan yang lain untuk memantapkan hafalan, antara lain dengan
menggerakkan tangan untuk menuliskan apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk
mengamati dan membaca, serta penggunaan daya menghafal dan mengingat, kemudian
anak disuruh menunjukkan hasilnya dihadapan guru. Jika anak berbuat kesalahan
tulisan atau lalai tidak menghafal atau karena pergi bermain-main, maka guru
memberi hukuman kepadanya, metoda ini sangat efektif kita jalankan sebagai
metode modern.
Mula-mula anak diberi nasihat, lalu
diasingkan dan diberi peringatan keras lalu diberi pukulan, sebagai hukuman
tahap akhir, jika dengan melalui nasihat, petunjuk dan peringatan tidak mempan,
maka perlu diberi hukuman yang setimpal sebagai ujian bagi mereka, pada waktu
anak dapat menyelesaikan tugas menhafalkan alqur’an dengan sukses sepanjang
tahun menekuninya sampai khatam, maka guru hendaknya dapat memberikan hadiah
penghargaan dan pujian untuk mereka. Setelah selesai menghafalkan alqur’an
diberi pelajaran tambahan yang meliputi tahap ketrampilan seperti industri
rumah dan perdagangan (berdagang) untuk mencari nahfkah hidupnya, dan lain
sebagainya dari bidang-bidang ketrampilan, atau merea tetap belajar ditingkat
yang lebih tinggi.
2. Tujuan
Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar
pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam yang benar.Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah
mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang
teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
agama yang murni.Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan
pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat
mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3. Kurikulum
Lingkungan sosial pada zaman
al-Qabisi adalah lingkungan religius yang bersih, karena tinjauan kurikulum
pengajaran dari sudut keagamaan memang sesuai dengan kurikulum yang dituntut
oleh para ahli agama, karena ciri khas kurikulum yang baik adalah jika tidak
keluar dari tuntutan lingkungan masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah
bahwa agama itu mempersiapkan anak untuk kehidupan yang seba baik, dan baginya
kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum Ijbari
(wajib) dan kurikulum ichtiyari (tidak wajib) sebagai berikut :
a) Kurikulum
Ilbari (wajib)
Kurikulum yang terdiri daripada
kandungan ayat-ayat alqur’an seperti sembahyang dan do’a-do’a. sebagian para
ahli mengatakan bahwa ilmu nahwu dan bahasa Arab, keduanya merupakan
persyaratan mutlak memantapkan baca alqur’an, tilawah, menulis dan hapalan.
b) Kurikulum
Ikhtiyari (tidak wajib)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung,
dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah Arab.Menurut pandangan
Ibnu Khaldun bahwa kurikulum yang berkembang dikawasan Afrika Utara dan di
negara Islam lain, mengalami perbedaan karena perbedaan geografis, yang
kadang-kadang berkisar pada permasalahan bentuk dan sistemnya.
Metode yang pertama di atas jika
ditinjau dari segi pendidikan modern adalah lebih baik dan berdaya guna, karena
seluruh kawasan negara Islam dengan tanpa syarat menyetujui cara mendidik
dengan mendahulukan pengajaran al-Quran beserta dengan keharusan mengajarkan
baca tulis, nahwu dan bahasa Arab.
Jika memperbandingkan kurikulum yang
ditetapkan untuk al-Kuttab pada abad ketiga Hijriyah dengan yang diajarkan di
al-Kuttab pada abad-abad kemudian, maka tidak menemukan adanya perbedaan,
esensi keberhasilannya terletak pada sikap taat dengan taklid (mengikuti tanpa
kritik) dan semangat melestarikan peninggalan dari pendahulunya; al-Hafiz bin Rajab
al-Baghdadi, pada abad ke-8 memberikan gambaran tentang kurikulum itu sebagai
berikut : “Ilmu yang diandang bermanfaat dari ilmu-ilmu yang ada, diukur atas
dasar nas-nas dari kitab suci dan sunnah Nabi, beserta pemahaman pengertian
yang dikaitkan kepada riwayat para sahabat dan tabiin tentang pengertian dari
kedua sumber tersebut beserta ketetapan hukum-hukum halal dan haram, zuhud dan
berbudi halus, serta bijaksana dan sebagainya.”
Al-Qabisi tidak mau menerima prilaku
yang merendahkan Al-Quran dan ia mohon perlindungan kepada Tuhan dari perilaku
seperti itu, Al-Qabisi memberikan garis agar orang Islam meninggalkan jauh
perilaku yang hina, karena jika sampai terjadi penghinaan terhadap alquran maka
pasti terjadi kerusakan yang merajalela. Allah akan mencabut alquran dari lubuk
hati kaum muslimin apabila mereka tidak menghina dan menginjak-injak alquran.
Adapun kondisi lingkungan hidup
sosial-budaya pada masa alquran adalah bersifat keagamaan yang mantap sehingga
tidak memungkinkan timbulnya faham atheisme atau materialisme (seperti sekarang
yang kita saksikan. Maka dari iu alquran dan sholat beserta segenap ilmu yang
berkaitan dengan pemahamannya dikenal oleh setiap orang Islam, mulai dari usaha
memotivasi sampai kegiatan mempelajari ilmu-ilmu itu.
Al-Qabisi memperkuat dan
mengabadikan sistem yang sedemikian itu karena menjadi gambaran yang benar dari
semangat zamannya. Al-Qabisi bersama-sama ulama ahli fiqih dan ahli hadits pada
maa itu telah berusaha menerangkan kepada kita sikap / pandangan mereka tentang
kurikulum ijbary (wajib) yang menyatakan bahwa alquran adalah kalam Allah dan
menjadi sumber hukum dan tasyri’. Ia menjadi referensi (tempat kembali) kaum
muslimin dalam masalah ibadat dan mu’amalat. Allah mendorong semangat untuk
beribadah dengan membaca alquran sebagai berikut :
انّ الّذين يتلون كتاب الله وأقام الصّلوة وأنفقوا ممّا رزقناهم سرّا
وعلانية يرزجون تجارة لن تبور
“Sesungguhnya
orang-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan membelanjakan
hartanya ke jalan Allah setengah dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka dengan
cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara terang-terangan mereka mengharapkan
usaha dengannya tidak menderita kerugian. (Fathir
: 29).
Firman Allah di
atas menetapkan bahwa alquran telah memerintahkan agar tilawah, mendirikan
sholat, berbuat ihsan, dilakukan bersamaan, tidak terpisah satu sama lain.
Maka dari itu sembahyang adalah
merupakan rukun poko dari semua rukun agama dan di dalam bersembahyang harus
dibaca beberapa ayat alquran. Itulah sebabnya mengerti dan memahami alquran
merupakan persyaratan untuk melaksanakan kewajiban sembahyang lima waktu. Di
samping itu dalam alquran terdapat banyak fadhilah yang tak boleh dijauhi
seperti Rasulullah saw telah memerintahkan agar kita mempelajari alquran dengan
segala seluk-beluk sebagaimana sabda beliau : “Sebaik-baik kamu adalah orang
yang mempelajari Al-Quran beserta ilmunya.”
Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan
hadis memandang bahwa lebih baik diajarkan alquran lebih dahulu pada anak sejak
dini. Sedang ada pendapat lain dikalangan ahli pendidikan Islam yang berbeda
pendapat pendapat dalam hal mendahulukan pengajaran alquran kepada anak usia
dini, misalnya Abu Bakar bin al-Arabi. Dia berpendapat bahwa.”Hendaknya kita
mengajarkan anak usia dini dengan syair dan bahasa Arab serta ilmu
berhitung.”Walau demikian Ibnu Khaldun menyetujui pandangan ini, kecuali bila
hal itu tidak mendatangkan keselamatan, maka pengajaran alquran harus
didahulukan.
Al-Qabisi mensyaratkan pengajaran
Al-Quran dengan tartil baik dan tajwidnya, waqaf yang tepat, mengambil contoh
dari pembaca yang bagus. Ia memberi nasihat agar bacaannya bermanfaat di waktu
mengerjakan sembahyang fardlu bagi seluruh kaum muslimin, demikian juga
kewajiban mengajarkan anak sembahyang kepada anak usia tujuh tahun, jika anak
tidak mau sembahyang pada usia sepuluh tahun, ia harus dipukul dan sebagainya.
Al-Qabisi tidak mentolerir anak yang
tinggal sembahyang, karena tinggal sembahyang merupakan batas yang memisahkan
antara kekufuran dan ke-Islaman, ia mengajak agar mendalami makna do’a dalam
sembahyang. (Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah (menyembah) dan hanya kepadaMu
jualah kami memohon pertolongan).
Kita melihat bahwa dengan
mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari alquran dengan sembahyang dan
berdo’a, berarti kita mengintegrasikan antara hakikat berfikir, merasa dan
berbuat (beramal). Pandangan ini sesuai dengan ilmu jiwa yang diterapkan oleh
al-Qabisi ke dalam tiga prinsip yang logis yaitu : 1) Menumpahkan perhatian
kepada pengajaran alquran, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk menambah
makrifat kepada Allah serta mendekatkan kepadaNya. 2) Pentingnya mengetahui
ilmu nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suc i alquran secara
benar. 3). Mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memahami makna ayat alquran
beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan
mengucapkannya dengan benar.
Dilihat dari segi praktisnya maka
tidak diragukan lagi bahwa ikrab membantu menganalisa pengertian sedangkan
nahwu, bahasa, chatt, menjadi penguat halafan dan memperbagus tilawah serta
penguasaan pengertian yang selengkapnya.
Al-Qabisi mengutip pendapat Ibnu Sahnun
bahwa sebaiknya kita mengajar anak-anak bagaimana menginkrabkan alquran, anak
harus dibiasakan dengan menaruh syakal, menghafalkan alfabet Arab, dan belajar
tulisan indah.
Di kalangan negara Maghribi telah
dikenal sebagai negara yang lebih banyak perhatiannya kepada tulisan chatt
indah yang dipandangnya sebagai suatu seni indah sehingga dinding-dinding
masjid dihiasi dengan tulisan khot ayat-ayat
alquran yang indah yang mengekspresikan ketinggian perasaan ke dalam lukisan,
dan daya cipta dalam seni dekorasi yang tinggi.Oleh karena itu maka masalah
ketrampilan menulis chatt yang indah itu ditempatkan pada posisi resmi dalam
kurikulum kuttab-kuttab yang islamiyah.
Dalam kurikulum al-Ijbari menurut
pandangan al-Qabisi, bahan pelajaran yang wajib terdiri dari : al-Quran
al-Karim, sholat, do’a-do’a, menulis dan nahwu, dan sebagian bahasa Arab,
karena ilmu-ilmu ini mendidik budi pekerti anak-mencintai agama serta mengajar
anak hidup di jalan yang terpuji.
Ilmu-ilmu yang ditetapkan dalam
kurikulum ichtiyar (tidak wajib dipelajari) Uraian tentang kurikulum menurut
pandangan al-Qabisi yang telah disebabkan terdahulu adalah untuk jenjang
pendidikan dasar atau pradasar yakni al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang
dikenal pada masa itu. Sekarang kurikulum tersebut dipakai di jenjang
pendidikan dasar (ibtidai)
. Ilmu-ilmu yang ichtyaru (selektif)
pada jenjang pendidikan dasar ini terdiri dari ilmu hitung, syair, sejarah dan
kisah-kisah bangsa Arab, (sejarah Islam), ilmu nahwu (grammar) dan bahasa Arab
lengkap, dan ilmu yang menelaskan tentang perbedaan antara ilmu-ilmu ichtiyari
ini dengan ilmu-ilmu ijbary dari segi jarak jauh-dekatnya untuk pembinaan rasa
keagamaan yang kuat, yang mana ilmu-ilmu ijbaryah lebih dekat jaraknya dengan
pembinaan keagamaan.
Kita perlu mengingat benar bahwa
kurikulum itu harus tunduk kepada tujuan pendidikan pada zamannya dan memenuhi
tuntutan masyarakatnya, juga harus sesuai dengan jenjang-jenjang pendidikan,
mengikuti politik pendidikan yang telah digariskan oleh pemerintah zamannya
Al-Qabisi menghendaki agar
pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak sesuai dengan
nilai-nilai Islam yang benar. Untuk itu maka kurikulum harus mampu
merealisasikan yang disesuaikan dengan kemampuan anak dari masa ke masa (yag
tidak lain adalah kurikulum yang bercorak ijbariyah dan ictiariyah itu). Dan
setelah anak menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum tersebut hendaknya
diajarkan dengan pelajaran ketrampilan yang berproduksi atau keterampilan
bekerja agar mampu membiayai hidupnya.
Jadi dengan demikian, menurut
pandangan al-Qabisi bahwa memberikan pelajaran keterampilan kerja untuk mencari
nafkah hidupnya sesudah selesainya tiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya
dengan dasar pengetahuan alquran, sembahyang dan do’a yang kokoh kuat,
benar-benar merupakan suatu pandangan yang menyatukan antara tujuan pendidikan
keagamaan dengan tujuan pragmatis. Pada hakikatnya pendidikan ketrampilan kerja
setelah memperoleh pendidikan agama dan akhlak, akan menolong anak itu trampil
bekerja, menari nafkah dengan didasari rasa takut kepada Allah (dalam bekerja).
Sebagian ulama ahli fiqih menentang
pelajaran berhitung, akan tetapi ada beberapa diantara yang memberi hukum
fardlu kifayah dengan alasan bahwa berhitung merupakan persyaratan untuk
mendapatkan kemanfaatan dalam mu’amalah dan dalam pembagian harta warisan
(faroidh) dan sebagainya. Menurut pendapat para ahli pendidikan, berhitung itu
memberikan faedah praktis dalam kehidupan manusia, oleh karena itu harus
diajarkan kepada anak sebagai latihan berfikir yang benar.[5]
Manurut pendapat al-Gazzaly,
pengajaran berhitung itu dapat merealisasikan kemaslahatan agama, karena itu
harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan anak-anak.Al-Djahiz memandang
pentingnya ilmu hitung dan kegunaannya disamakan dengan kata-kata dalam sebuah
kontrak (perjanjian) yang essensinya bukan terletak dalam lafadh atau
tulisannya, (tetapi dalam hitungan).
Dalil yang menunjukkan bahwa ilmu
hitung itu penting dan banyak faedahnya, serta tinggi kadar kemanfaatannya
ialah berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
هو الّذي جعل الشّمس ضيآءً والقمر نوراوقدّر ه منازل
لتعلمواعددالسّنين والحساب. . . .
“Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya terang dan ditetapkannya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (Yunus: 5)
Dalam ilmu hitung itu terkandung
makna besar dan kemanfaatan yang tinggi maka dengan mengetahui hitungan dan
sebagainya orang akan mendapatkan kemudahan dalam perkiraan.
Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung itu tidaklah bersifat multak, karena hal itu disesuaikan dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau sejauh mana imu hitung itu diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama.Ia menyatakan bahwa mengajarkan berhitung kepada mereka bukanlah suatu yang wajib kecuali bila guru mempersyaratkannya.
Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung itu tidaklah bersifat multak, karena hal itu disesuaikan dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau sejauh mana imu hitung itu diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama.Ia menyatakan bahwa mengajarkan berhitung kepada mereka bukanlah suatu yang wajib kecuali bila guru mempersyaratkannya.
Sebaiknya mengajarkan berhitung itu
didasarkan atas izin orang tua anak, sehingga persetujuan orang tua menjadi
persyaratan bagi pengajaran berhitung itu.Dengan demikian maka jelaslah bahwa
pengajaran berhitung tersebut tidak terlepas dari pendapat orang-orang tua
mereka.
Al-Qabisi dalam pengajaran syair
tidak menentang, karena didasarkan atas sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa
syair itu merupakan kalimat (perkataan) ia menjadi baik jika yang mempergunakan
itu baik, dan menjadi jelek jika orang yang mengucapkannya itu buruk. Kemudian
dikuatkan lagi pendapatnya itu dalam kitab Risalah Muffasshalah bahwa syair itu
dapat meluruskan lisan, dan membuat orang fasih dalam berkata, serta
menghaluskan hatinya dalam suatu waktu tertentu dan akan dapat memperoleh kesaksian
terhadap apa yang ingin ia jelaskan.
Ketika banyak orang mengkritik
al-Qabisi bahwa ia tidak memperhatikan masalah pendidikan kesenian, maka ia
menjawab bahwa pelajaran syair itu sesungguhnya adalah pndidikan seni
keindahan, yang jika diajarkan maka tidaklah hilang seni tersebut. Pelajaran
ini dikaitkan dengan pelajaran khatt (tulisan indah) yang merupakan seni
keindahan luas di wilayah negara maghribi.Khatt adalah juga termasuk pendidikan
seni keindahan.
Tidak diragukan lagi bahwa pandangan
tersebut diatas mendorong perhatian kita kepada pentingnya pendidikan seni
keindahan itu yang tidak bertentangan dengan agma.Alasan ini sesuai dengan
pendapat para ahli pendidikan modern yang menyatakan bahwa mendidik anak dengan
seni-budaya membuat mereka dapat mengetahui / mengenal kebaikan. Dan
mengajarkan sejarah bangsa Arab tidak ada seorang pun yang melarang atau
menentangnya, karena sejarah ini mengandung pengetahuan tentang tokoh-tokoh,
pemimpin-pemimpin yang berjiwa pahlawan dan kesatria, yang bagi anak-anak dapat
mendidik rasa mencintai kepahlawanan dan dapat mendorongnya ke arah berbuat
baik seperti para pahlawan.
Maka dari itu jelaslah pendapat
al-Qabisi tersebut bahwa ia memilih dengan teliti bahan-bahan kurikulum
pendidikan anak-anak yang benar-benar sesuai dengan kemampuan mereka. Pandangan
mazhab ahli sunnah tentang bahan-bahan kurikulum anak-anak selalu disesuaikan
dengan kondisi anak tersebut, oleh karena tujuan umum yang dipegangi oleh
beliau adalah bertujuan mengembangkan kekuatan akhlaq anak, menumbuhkan rasa
cinta agama, berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, serta berprilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni.
F.
Kritik
Terhadap Kurikulum Al-Qabisi
Metode
dan Teknik Belajar
Selain membicarakan materi, ia juga
berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal
alquran dan belajar menulis langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan
waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus
dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari
Jum’at.Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qabisi juga mengemukakan metode
belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.
Belajar dengan menghafal adalah cara pengajaran yang amat diperhatikan oleh
pendidikan modern sekarang. Di antara ketetapannya adalah pemahaman terhadap
pelajaran dengan baik akan mmbantu hapalan yang baik. Pendidikan modern
sekarang ini menganjurkan agar mengajar anak dengan cara menghafalkan pelajaran
agar mereka memahami maksudnya secara jelas.
Salah satu bukti yang jelas bahwa
kurikulum di Al-Kuttab Islam berisi bahan-bahan ilmu pengetahuan yang wajib
dihapal dan diingat.Di dalam al-Kuttab itu hanya diajarkan ilmu-ilmu alquran
tulis menulis nahwu, bahasa Arab, syair, dan sejarah bangsa Arab (Islam) yang
termasuk ilmu-ilmu lafdziyah. Ilmu-ilmu itu harus dibaca,dipahami dan
diingat-ingat. Maka jelaslah bahwa kurikulum al-Kuttab itu mementingkan
penggunaan metoda hapalan.Karena menurut al-Qabisi menghafal merupakan salah
satu metoda yang paling baik dan sesuai dengan pendapat modern yang menyatakan
bahwa metode hapalan didasarkan atas pengulangan, kecenderungan dan pemahaman
terhadap bahan pelajaran.
Adapun pentingnya pengulangan itu
didasarkan kepada sebuah hadis Nabi saw tentang menghapalkan alquran, yang
diumpamakan untuk yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan
ikatannya, unta itu akan terikat erat, dan jika ia melepaskan tali ikatannya,
maka ia akan pergi.” Jika orang yang hafal alquran di waktu malam dan siang
hari mengulanginya, maka ia akan mengingatnya, dan jika ia tidak pernah
membacanya, maka ia akan melupakannya (hilang hapalannya).
Berkaitan denga hadits itu,
al-Qabisi menyatakan ; “Sesungguhnya
Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya yang tersebut diatas tentang cara-cara
mengingat yang dapat memantapkan hapalan alquran, sehingga ia tak perlu belajar
lagi secara berulang-ulang”.
Ucapan al-Qabisi tersebut
menunjukkan secara jelas tahap-tahap mengingat yaitu mula-mula menghapal, lalu
memahami artinya, kemudian mengulangi lagi.Adapun yang dimaksud dengan
“kecenderungan” (al-mailu) di atas ialah rasa mencintai alquranulkarim yakni
anak tertarik kepada membacanya.
Menurut al-Qabisi yang dimaksud
dengan “pemahaman” (al-fahmu) diatas adalah tartil (mengerti bacaan) dalam
membaca dan pemahamannya secara serius. Adapun pembacaan yang dengan cara
tartil itu membantu kemampuan untuk merenungkan isi alquran yang telah
diturunkan oleh Allah.
5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
Percampuran belajar antara murid
laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau co-educational classes juga
menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan perempuan
dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
Sahnun, seorang ahli pendidikan
Islam (yang juga guru dari al-Qabisi) abad ke 3 Hijriyah berpendapat (yang juga
dinukil oleh al-Qabisi) bahwa :”Guru yang paling tidak disukai ialah guru yang
mengajar anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka bercampur dengan anak
lelaki remaja, maka hal ini akan mendatangkan kerusakan terutama bagi anak
perempuan remaja”.[6]
Salah satu alasan mengapa al-Qabisi
berpegang teguh pada pendapatnya; karena ia khawatir kalau anak-anak itu
sendiri menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak
kecil dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi caitus) kecuali bila anak
remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa).
Namun al-Qabisi tidak menjelaskan
pendapatnya tentang kerendahan derajat jenis kelamin.Ia memberikan arahan
kepada guru tentang kebebasan melaksanakan pola berdasarkan kebijaksanaanya,
dan sesuai dengan metoda yang ia gunakan dalam menangani pergaulan antara anak
kecil dengan yang sudah baligh itu namun ditinjau dari segi lain apakah
menimbulkan degradasi atau tidak. Jika tidak mengalami kerusakan moral maka
percampuran itu tidak berlangsung di Al-Kuttab, maka keharusan mengajar anak
perempuan sangat dianjurkan, karena anak perempuan harus mengerti agama dan
pelaksanaan ibadah.Keadaan demikian itu juga termasuk tugas pendidikan di
rumah-rumah (pendidikan keluarga).
Jelaslah pendapat al-Qabisi bahwa
sesungguhnya dorongan jiwa anak terhadap jenis kelamin lain dapat merubah sikap
akhlak dan agamanya, sebab pemenuhan dorongan jenis kelamin merupakan tenaga
yang kuat dalam jiwa remaja, bahkan mungkin menindas dorongan ini dengan
menggunakan kekuatan dorongan yang lain dalam diri remaja (dapat juga
dilakukan) akan tetapi ilmu jiwa pendidikan pada masa itu belum mencapai
tingkat kemajuan seperti sekarang.[7]
[2]http://nyongandikahendra.blogspot.com/2009/12/dahsyatnya-pemikiran-manajemen.html
[3]Ali
Al-Jambulati dan Abdul Futuh Al-Tuwasaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan
Islam. PT Rineka Cipta. Jakarta
[5]
Ali Al-Jambulati dan Abdul Futuh Al-Tuwasaanisi. 2002. Perbandingan
Pendidikan Islam. PT Rineka Cipta.
Jakarta. Hal 81-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar