Selasa, 30 Oktober 2012

PEMIKIRAN AL-QABISI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN MASA SEKARANG


PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
            Salah satu tokoh pendidikan di kalangan kaum muslimin adalah Abu Hasan Al-Qabisi, yang merupakan murid Ibnu Sahnun, Ibnu Shanun adalah seorang tokoh pendidik angkatan pertama di kalangan umat islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli fiqih yang bermadzhab Maliki. Pemikiran Ibnu Shanun mengenai pendidikan banyak menyoroti tentang perilaku pendidik, dan yang paling diperhatikan adalah berkenaan dengan kompetensi pendidik itu sendiri.Selain tanggungjawab itu sendiri dalam mengajar, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan yang mumpuni,[1] sehingga pemikirannya tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh gurunya. Al-Qabisi terkenal pada masanya abad 4 dengan karyanya yaitu “Ahwalul al-Muta’allimin wa ahkam Al-Mu’allimin wal Muta’alimin” yang berisi tentang pemikiran pendidikan.
            Banyak hal yang seharusnya dapat dipelajari dari pemikiran pendidikan Al-Qabisi terutama tentang konsep pendidikan dan pengajaran, dimana Al-Qabisi yang pertama kali membicarakan tentang pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan dalam belajar sebab salah satu yang dapat menganggu masuknya ilmu adalah karena rusaknya pikiran akibat percampuran antara laki-laki dan perempuan.
            Di Indonesia telah banyak lembaga pendidikan yang menggunakan konsep tersebut salah satunya adalah lembaga pendidikan Islam Pesantren Gontor, pondok pesantren al-Irsyad dan masih banyak lagi lembaga pendidikan yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan, hal ini tentunya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
            Malaysia adalah salah satu Negara Asian yang juga telah mengembangkan konsep pemikiran pendidikan al-Qabisi, sehingga tidak heran jika banyak buku-buku yang mengangkat konsep pendidikan al-Qabisi yang diterbitkan secara luas.[2]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi tentang tokoh Al-Qobisi ?
2.      Bagaimana pemikiran Al-Qobisi dalam kontek pendidikan masa sekarang ?
3.      Bagaimana relevansi pemikiran Al-Qobisi ?
C.    Biografi Al-Qobisi

Nama lengkap Al-Qabisi  adalah Abu Al-Hasan Muhammad  bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy.  Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan Rajab tahun 324 H-935M.beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H. Bertepan pada tanggal 23 Oktober 1012. Literatur-literatur tidak menyebutkan  perihal kedudukan  orang tuanya. Barangkali Al-Qabisi bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi  ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Al-Qadhi’iyah pernah mengatakan bahwa Abu Hasan ini bukanlah dari kafilah Al-Qabisy, tetapi karena pamannya mengenakan surban di kepalanya rapat-rapat yang bertentangan dengan kebiasaan dari orang Qabisy, maka ia diberi nama Al-Qabisi. Sebenarnya ia adalah penduduk Qaeruan. Pendapat ini sesuai dengan keterangan As-Shafdi yang menyatakan bahwa nama Al-Qabisi itu diberikan kepadanya karena pamannya mengenakan surban terlalu ketat di kepalanya.[3]
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang  amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisi pernah mengatakan tentang gurunya ini: “Saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain  yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah  Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan  Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisi pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus  menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar  seperti  Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia  pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan  mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy mengajar pada  sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang  dari Afrika dan  Andalus.  Murid-muridnya yang terkenal adalah  Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.[4]
            Al-Qabisi hidup dalam kondisi sosial keagamaan yang semarak dan sangat mantap dengan mempelajari, menyebarluaskan dan mengajarkannya.Dimana lebih banyak diwarnai aliran Mazhab Maliki, satu aliran yang tergolong ahlussunnah, sehingga tuntutan masyarakat dalam bidang pendidikan cenderung pada masalah-masalah keagamaan.
            Dunia pendidikan diwaktu itu banyak diwarnai oleh pemikir Islam klasik yang konsen terhadap masalah pendidikan yaitu Ibnu Sahnun, dengan karyanya bernama "Adabal al-Mualllimin" sebuah kitab kecil tentang pendidikan yang akhirnya nanti, banyak mempengaruhi pemikiran Al-Qabisi.
            Al-Qabisi merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab.la menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya al-Mumahid fi al-Fiqh dan al-I'tiqadat.Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan berjudul: "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa al-Muta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi ke dalam 3 juz.
D.    Latar Belakang Karir Intelektual
Sebagaimana lazimnnya para pelajar muslim pada masa kerajaan Islam dalam mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan berpindah-pindah tempat belajar dan mencari sejumlah guru dengan disiplin ilmu yang berbeda pula. Tak terkecuali al-Qabisi yang hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu.Dengan demikian tidak mengherankan jika ulama terdahulu memiliki banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Di Kairawan Afrika beliau belajar kepada sejumlah ulama ternama di antaranya :
Abul 'Abbas at-Tamimy (w.352 H) seorang ahli fiqih yang bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia.Darinyalah al-Qabisi mendapat sejumlah nama-nama guru, baik dari Timur maupun dari Barat dunia Islam tempat beliau melanjutkan rihlah ilmiah nantinya.
Ibnu Masrur ad-Dibagh (w.359 H)
Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H), seorang faqih yang bermazhab Maliki di Kairawan.
Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)
Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang disegani karena kewara'an dan kemulian pribadinya.
Durras bin Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang faqih yang berhaluan Asy'Ary dalam Theologi
Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama yang produktif dalam menulis berbagai kitab tentang ilmu Tasawuf.(w.370 H)
Abu Ishak al-Jibinyani (w.369 H) seorang ulama yang terkenal karena permohonannya.
            Di Afrika kelihatannya al-Qabisi banyak belajar tentang ilmu fiqih dan akhlak.Oleh karenanya, pada tahun 352 H bertepatan dengan 963 M al-Qabisi berangkat ke Timur tepatnya tanah Hijaz dan Mesir.Tujuan utama adalah menunaikan haji, di samping belajar mencari ilmu pengetahuan. Disana beliau belajar kepada sejumlah guru, diantaranya:
Abul Qasim Hamzah bin Muhammad al-Kinani, seorang 'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi belajar kitab hadist An-nasa'i.
Abu Zaid Muhammad bin Ahmad al-Marwazi seorang ulama Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih al-Bukhory.
Abul Fath bin Budhan (w.359) ulama Mesir ahli qiraah.
Abu Bakar Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali, seorang ulama terkenal di Mesir, dari beliau al-Qabisi banyak mengambil teladan.
Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad al-Jurjani salah seorang ulama perawi Shahih Bukhary
Abu Dzar al-Harwi (w.434 H), seorang faqih Maliki yang terkenal dengan karyanya Musnal al-Muwaththa' darinyalah al-Qabisi mempelajari hadist Imam Maliki dengan kitabnya al- Muwaththa’.
            Pada tahun 357H/967M beliau pulang ke Kairawan untuk menerapkan ilmu yang telah dikuasainya.Dari perjalanannya mencari ilmu pengetahuan menghantarkannya menjadi seorang alim dalam fiqih dan hadist.Di Kairawan beliau menjadi seorang guru sekaligus kepala madrasah al-Malikiyah yaitu madrasah al-Fikriyah al-Aqa'idiyah menggantikan teman sepergurunnya Ibnu Abi Zaid al-Kairawan (w.389 H).Banyak murid yng belajar kepada beliau dan selanjutnya menjadi ulama besar, bail dari Afrika maupun dari luar Afrika, terutama dari Andalusia.
            Di tinjau dari keadaan politik mada itu (324-403 H masa kehidupan al-Qabisi) Afrika dikuasai oleh dinasty Fathimiyah yang bermazhab Syi'ah.Ketika itu dynasty Fathimiyah dipimpin oleh kekhalifahan al-Mu'iz li Dininillah. Pada tahun 362 H  Mesir ditaklukkan dan dikuasai oleh khalifah al-Mu'iz di bawah panglima Jauhar al-Shiqli. Di bawah kekuasaan Syi'ah ekstrim ini, al-Qabisi mampu berhaluan Asy'ary bermazhabkan fiqih Maliki. Oleh karena itu, dapat kita lihat tidak adanya subsidi pemerintah terhadap madrasah yang beliau pimpin.
            Dari penjelasan ditas dapat dilihat, bahwa al-Qabisi adalah seorang ahli hadist dan ulama bermazhab Maliki serta di beliau hidup dimasa kekuasaan Syi'ah yang ekstrim.Pengalamannya menjadi guru dan pemimpin madrasah, menghantarkan al-qabisi sebagai ahli dalam bidang pendidikan.Latar belakang ini mempengaruhi konsepnya tentang pendidikan Islam.Keahliannya yang begitu kuat dalam bidang Fiqih dan hadist mrmbust sl-Qabisi telah mengambil corak pemikiran keislaman normative, tetapi bukan berarti doktrin.Dengan demikian, maka acuan yang digunakan dalam merumuskan pemikirannya ternasuk bidang pendidikan adalah paradigma fiqih dan hadist.
            Keahlian al-Qabisi dalam tiga bidang ini dapat kita lihat dari karya-karyanya. Dalam meniti karirnya al-Qabisi telah mampu menulis berbagai kitab di antaranya:
كتان الملخص لمسند مو طا مالك ابن انس
كتاب الممهد في الفقه
كتاب الئبه المفطن والمبعد من شبه التويل
احكام الد يقه
كتاب منا سك الحج
كتاب رتب العلم واحول اهله
كتاب الر ساله المفصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين

E.     Pemikiran Al-Qobisi
            Dalam konsep pendidikan al-Qabisi, ada beberapa pemikiran atau pandangan, yaitu tentang pendidikan anak, tujuan pendidikan, kurikulum, metode da teknik belajar, percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dan demokrasi dalam pendidikan.
            Abdul Ashir Samsuddin, menjelaskan pandangan al-Qabisi terhadap pendidikan dan pengajaran yang membahas tentang belajar alquran dan mengajarkannya adalah wajib bagi setiap muslim, adab belajar dan syarat-syaratnya, adab mengajar dan syarat-syaratnya, metode mengajar dan asas pendidikan, keihklasan dan aturan-aturan.
Berikut konsep yang diberikan oleh al-Qobisi

1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab.Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara, oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.
            Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di kuttab-kuttab.Barangkali pendapatnya tentang pendidikan anak-anak ini merupakan tiang yang pertama dalam pendidikan Islam dan juga bagi pendidikan umat yang lainnya.Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni, maka mengajar anak-anak sebagai tuntunan bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu yang harus dilaksankan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti membangun piramida pendidikan (institusi pendidikan, pen). Berdasarkan fondasi yang kokoh dan kuat, oleh karena itu ia tidak menjelaskan kepada kita dalam kitabnya “al-Mufasshalat” tentang metoda pengajaran yang lain, hanya mencukupkan dengan metoda pengajaran yang penting-penting.
            Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak di lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis Nabi). Rasulullah saw bersabda :” Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat pada waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun.” Dari sabda Nabi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-tama di rumah.Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan daripada tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah.Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal alqur’an, lalu diajar menulis, dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab untuk belajar lagi sampai sore.
            Anak-anak yang belajar di kuttab berlangsung sampai akil baligh, yang mempelajari berbagai ilmu seperti alqur’an, tulis menulis, nahwu dan bahasa Arab, juga seringkali belajar ilmu hitung dan syair serta kisah-kiah Arab.Akan tetapi yang terpenting adalah mempelajari alqur’an yang dimulai dengan menghafal secara individual ataupun kelompok dimana guru membaca berulang kali ayat-ayat pada langkah pertamanya, kemudian anak-anak membacanya beruang-ulang mengikuti gurunya. Masing-masing anak diberi batu tulis untuk menuliskan apa yang telah dihafal setiap harinya. Dengan cara ini jelaslah bahwa kemampuan menulis dan membaca menjadi syarat mutlak untuk memahami alqur’an, kemudian anak diharuskan menunjukkan apa yang ditulis di dalam batu tulisanya pada hari berikutnya, lalu apa yang dituliskan di batu tulis (pada hari kemarin) dihapus untuk ditulisi lagi dengan ayat-ayat berikutnya pada hari selanjutnya.
            Metoda pengajaran dengan mengerjakan tugas berulang kali demikian disertai dengan hafalan, tolong menolong antara satu dengan yang lain untuk memantapkan hafalan, antara lain dengan menggerakkan tangan untuk menuliskan apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk mengamati dan membaca, serta penggunaan daya menghafal dan mengingat, kemudian anak disuruh menunjukkan hasilnya dihadapan guru. Jika anak berbuat kesalahan tulisan atau lalai tidak menghafal atau karena pergi bermain-main, maka guru memberi hukuman kepadanya, metoda ini sangat efektif kita jalankan sebagai metode modern.
            Mula-mula anak diberi nasihat, lalu diasingkan dan diberi peringatan keras lalu diberi pukulan, sebagai hukuman tahap akhir, jika dengan melalui nasihat, petunjuk dan peringatan tidak mempan, maka perlu diberi hukuman yang setimpal sebagai ujian bagi mereka, pada waktu anak dapat menyelesaikan tugas menhafalkan alqur’an dengan sukses sepanjang tahun menekuninya sampai khatam, maka guru hendaknya dapat memberikan hadiah penghargaan dan pujian untuk mereka. Setelah selesai menghafalkan alqur’an diberi pelajaran tambahan yang meliputi tahap ketrampilan seperti industri rumah dan perdagangan (berdagang) untuk mencari nahfkah hidupnya, dan lain sebagainya dari bidang-bidang ketrampilan, atau merea tetap belajar ditingkat yang lebih tinggi.
2. Tujuan Pendidikan
            Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni.Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3. Kurikulum
            Lingkungan sosial pada zaman al-Qabisi adalah lingkungan religius yang bersih, karena tinjauan kurikulum pengajaran dari sudut keagamaan memang sesuai dengan kurikulum yang dituntut oleh para ahli agama, karena ciri khas kurikulum yang baik adalah jika tidak keluar dari tuntutan lingkungan masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah bahwa agama itu mempersiapkan anak untuk kehidupan yang seba baik, dan baginya kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum Ijbari (wajib) dan kurikulum ichtiyari (tidak wajib) sebagai berikut :
a) Kurikulum Ilbari (wajib)
            Kurikulum yang terdiri daripada kandungan ayat-ayat alqur’an seperti sembahyang dan do’a-do’a. sebagian para ahli mengatakan bahwa ilmu nahwu dan bahasa Arab, keduanya merupakan persyaratan mutlak memantapkan baca alqur’an, tilawah, menulis dan hapalan.
b) Kurikulum Ikhtiyari (tidak wajib)
            Kurikulum ini berisi ilmu hitung, dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah Arab.Menurut pandangan Ibnu Khaldun bahwa kurikulum yang berkembang dikawasan Afrika Utara dan di negara Islam lain, mengalami perbedaan karena perbedaan geografis, yang kadang-kadang berkisar pada permasalahan bentuk dan sistemnya.
            Metode yang pertama di atas jika ditinjau dari segi pendidikan modern adalah lebih baik dan berdaya guna, karena seluruh kawasan negara Islam dengan tanpa syarat menyetujui cara mendidik dengan mendahulukan pengajaran al-Quran beserta dengan keharusan mengajarkan baca tulis, nahwu dan bahasa Arab.
            Jika memperbandingkan kurikulum yang ditetapkan untuk al-Kuttab pada abad ketiga Hijriyah dengan yang diajarkan di al-Kuttab pada abad-abad kemudian, maka tidak menemukan adanya perbedaan, esensi keberhasilannya terletak pada sikap taat dengan taklid (mengikuti tanpa kritik) dan semangat melestarikan peninggalan dari pendahulunya; al-Hafiz bin Rajab al-Baghdadi, pada abad ke-8 memberikan gambaran tentang kurikulum itu sebagai berikut : “Ilmu yang diandang bermanfaat dari ilmu-ilmu yang ada, diukur atas dasar nas-nas dari kitab suci dan sunnah Nabi, beserta pemahaman pengertian yang dikaitkan kepada riwayat para sahabat dan tabiin tentang pengertian dari kedua sumber tersebut beserta ketetapan hukum-hukum halal dan haram, zuhud dan berbudi halus, serta bijaksana dan sebagainya.”
            Al-Qabisi tidak mau menerima prilaku yang merendahkan Al-Quran dan ia mohon perlindungan kepada Tuhan dari perilaku seperti itu, Al-Qabisi memberikan garis agar orang Islam meninggalkan jauh perilaku yang hina, karena jika sampai terjadi penghinaan terhadap alquran maka pasti terjadi kerusakan yang merajalela. Allah akan mencabut alquran dari lubuk hati kaum muslimin apabila mereka tidak menghina dan menginjak-injak alquran.
            Adapun kondisi lingkungan hidup sosial-budaya pada masa alquran adalah bersifat keagamaan yang mantap sehingga tidak memungkinkan timbulnya faham atheisme atau materialisme (seperti sekarang yang kita saksikan. Maka dari iu alquran dan sholat beserta segenap ilmu yang berkaitan dengan pemahamannya dikenal oleh setiap orang Islam, mulai dari usaha memotivasi sampai kegiatan mempelajari ilmu-ilmu itu.
            Al-Qabisi memperkuat dan mengabadikan sistem yang sedemikian itu karena menjadi gambaran yang benar dari semangat zamannya. Al-Qabisi bersama-sama ulama ahli fiqih dan ahli hadits pada maa itu telah berusaha menerangkan kepada kita sikap / pandangan mereka tentang kurikulum ijbary (wajib) yang menyatakan bahwa alquran adalah kalam Allah dan menjadi sumber hukum dan tasyri’. Ia menjadi referensi (tempat kembali) kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu’amalat. Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca alquran sebagai berikut :
انّ الّذين يتلون كتاب الله وأقام الصّلوة وأنفقوا ممّا رزقناهم سرّا وعلانية يرزجون تجارة لن تبور
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan membelanjakan hartanya ke jalan Allah setengah dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara terang-terangan mereka mengharapkan usaha dengannya tidak menderita kerugian. (Fathir : 29).
Firman Allah di atas menetapkan bahwa alquran telah memerintahkan agar tilawah, mendirikan sholat, berbuat ihsan, dilakukan bersamaan, tidak terpisah satu sama lain.
            Maka dari itu sembahyang adalah merupakan rukun poko dari semua rukun agama dan di dalam bersembahyang harus dibaca beberapa ayat alquran. Itulah sebabnya mengerti dan memahami alquran merupakan persyaratan untuk melaksanakan kewajiban sembahyang lima waktu. Di samping itu dalam alquran terdapat banyak fadhilah yang tak boleh dijauhi seperti Rasulullah saw telah memerintahkan agar kita mempelajari alquran dengan segala seluk-beluk sebagaimana sabda beliau : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran beserta ilmunya.”
            Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis memandang bahwa lebih baik diajarkan alquran lebih dahulu pada anak sejak dini. Sedang ada pendapat lain dikalangan ahli pendidikan Islam yang berbeda pendapat pendapat dalam hal mendahulukan pengajaran alquran kepada anak usia dini, misalnya Abu Bakar bin al-Arabi. Dia berpendapat bahwa.”Hendaknya kita mengajarkan anak usia dini dengan syair dan bahasa Arab serta ilmu berhitung.”Walau demikian Ibnu Khaldun menyetujui pandangan ini, kecuali bila hal itu tidak mendatangkan keselamatan, maka pengajaran alquran harus didahulukan.
            Al-Qabisi mensyaratkan pengajaran Al-Quran dengan tartil baik dan tajwidnya, waqaf yang tepat, mengambil contoh dari pembaca yang bagus. Ia memberi nasihat agar bacaannya bermanfaat di waktu mengerjakan sembahyang fardlu bagi seluruh kaum muslimin, demikian juga kewajiban mengajarkan anak sembahyang kepada anak usia tujuh tahun, jika anak tidak mau sembahyang pada usia sepuluh tahun, ia harus dipukul dan sebagainya.
            Al-Qabisi tidak mentolerir anak yang tinggal sembahyang, karena tinggal sembahyang merupakan batas yang memisahkan antara kekufuran dan ke-Islaman, ia mengajak agar mendalami makna do’a dalam sembahyang. (Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah (menyembah) dan hanya kepadaMu jualah kami memohon pertolongan).
            Kita melihat bahwa dengan mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari alquran dengan sembahyang dan berdo’a, berarti kita mengintegrasikan antara hakikat berfikir, merasa dan berbuat (beramal). Pandangan ini sesuai dengan ilmu jiwa yang diterapkan oleh al-Qabisi ke dalam tiga prinsip yang logis yaitu : 1) Menumpahkan perhatian kepada pengajaran alquran, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk menambah makrifat kepada Allah serta mendekatkan kepadaNya. 2) Pentingnya mengetahui ilmu nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suc i alquran secara benar. 3). Mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memahami makna ayat alquran beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan mengucapkannya dengan benar.
            Dilihat dari segi praktisnya maka tidak diragukan lagi bahwa ikrab membantu menganalisa pengertian sedangkan nahwu, bahasa, chatt, menjadi penguat halafan dan memperbagus tilawah serta penguasaan pengertian yang selengkapnya.
            Al-Qabisi mengutip pendapat Ibnu Sahnun bahwa sebaiknya kita mengajar anak-anak bagaimana menginkrabkan alquran, anak harus dibiasakan dengan menaruh syakal, menghafalkan alfabet Arab, dan belajar tulisan indah.
            Di kalangan negara Maghribi telah dikenal sebagai negara yang lebih banyak perhatiannya kepada tulisan chatt indah yang dipandangnya sebagai suatu seni indah sehingga dinding-dinding masjid dihiasi dengan tulisan khot ayat-ayat alquran yang indah yang mengekspresikan ketinggian perasaan ke dalam lukisan, dan daya cipta dalam seni dekorasi yang tinggi.Oleh karena itu maka masalah ketrampilan menulis chatt yang indah itu ditempatkan pada posisi resmi dalam kurikulum kuttab-kuttab yang islamiyah.
            Dalam kurikulum al-Ijbari menurut pandangan al-Qabisi, bahan pelajaran yang wajib terdiri dari : al-Quran al-Karim, sholat, do’a-do’a, menulis dan nahwu, dan sebagian bahasa Arab, karena ilmu-ilmu ini mendidik budi pekerti anak-mencintai agama serta mengajar anak hidup di jalan yang terpuji.
            Ilmu-ilmu yang ditetapkan dalam kurikulum ichtiyar (tidak wajib dipelajari) Uraian tentang kurikulum menurut pandangan al-Qabisi yang telah disebabkan terdahulu adalah untuk jenjang pendidikan dasar atau pradasar yakni al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang dikenal pada masa itu. Sekarang kurikulum tersebut dipakai di jenjang pendidikan dasar (ibtidai)
.           Ilmu-ilmu yang ichtyaru (selektif) pada jenjang pendidikan dasar ini terdiri dari ilmu hitung, syair, sejarah dan kisah-kisah bangsa Arab, (sejarah Islam), ilmu nahwu (grammar) dan bahasa Arab lengkap, dan ilmu yang menelaskan tentang perbedaan antara ilmu-ilmu ichtiyari ini dengan ilmu-ilmu ijbary dari segi jarak jauh-dekatnya untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat, yang mana ilmu-ilmu ijbaryah lebih dekat jaraknya dengan pembinaan keagamaan.
            Kita perlu mengingat benar bahwa kurikulum itu harus tunduk kepada tujuan pendidikan pada zamannya dan memenuhi tuntutan masyarakatnya, juga harus sesuai dengan jenjang-jenjang pendidikan, mengikuti politik pendidikan yang telah digariskan oleh pemerintah zamannya
            Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Untuk itu maka kurikulum harus mampu merealisasikan yang disesuaikan dengan kemampuan anak dari masa ke masa (yag tidak lain adalah kurikulum yang bercorak ijbariyah dan ictiariyah itu). Dan setelah anak menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum tersebut hendaknya diajarkan dengan pelajaran ketrampilan yang berproduksi atau keterampilan bekerja agar mampu membiayai hidupnya.
            Jadi dengan demikian, menurut pandangan al-Qabisi bahwa memberikan pelajaran keterampilan kerja untuk mencari nafkah hidupnya sesudah selesainya tiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan dasar pengetahuan alquran, sembahyang dan do’a yang kokoh kuat, benar-benar merupakan suatu pandangan yang menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pragmatis. Pada hakikatnya pendidikan ketrampilan kerja setelah memperoleh pendidikan agama dan akhlak, akan menolong anak itu trampil bekerja, menari nafkah dengan didasari rasa takut kepada Allah (dalam bekerja).
            Sebagian ulama ahli fiqih menentang pelajaran berhitung, akan tetapi ada beberapa diantara yang memberi hukum fardlu kifayah dengan alasan bahwa berhitung merupakan persyaratan untuk mendapatkan kemanfaatan dalam mu’amalah dan dalam pembagian harta warisan (faroidh) dan sebagainya. Menurut pendapat para ahli pendidikan, berhitung itu memberikan faedah praktis dalam kehidupan manusia, oleh karena itu harus diajarkan kepada anak sebagai latihan berfikir yang benar.[5]
            Manurut pendapat al-Gazzaly, pengajaran berhitung itu dapat merealisasikan kemaslahatan agama, karena itu harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan anak-anak.Al-Djahiz memandang pentingnya ilmu hitung dan kegunaannya disamakan dengan kata-kata dalam sebuah kontrak (perjanjian) yang essensinya bukan terletak dalam lafadh atau tulisannya, (tetapi dalam hitungan).
            Dalil yang menunjukkan bahwa ilmu hitung itu penting dan banyak faedahnya, serta tinggi kadar kemanfaatannya ialah berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
هو الّذي جعل الشّمس ضيآءً والقمر نوراوقدّر ه منازل لتعلمواعددالسّنين والحساب. . . .
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya terang dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (Yunus: 5)
            Dalam ilmu hitung itu terkandung makna besar dan kemanfaatan yang tinggi maka dengan mengetahui hitungan dan sebagainya orang akan mendapatkan kemudahan dalam perkiraan.
Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung itu tidaklah bersifat multak, karena hal itu disesuaikan dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau sejauh mana imu hitung itu diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama.Ia menyatakan bahwa mengajarkan berhitung kepada mereka bukanlah suatu yang wajib kecuali bila guru mempersyaratkannya.
            Sebaiknya mengajarkan berhitung itu didasarkan atas izin orang tua anak, sehingga persetujuan orang tua menjadi persyaratan bagi pengajaran berhitung itu.Dengan demikian maka jelaslah bahwa pengajaran berhitung tersebut tidak terlepas dari pendapat orang-orang tua mereka.
            Al-Qabisi dalam pengajaran syair tidak menentang, karena didasarkan atas sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa syair itu merupakan kalimat (perkataan) ia menjadi baik jika yang mempergunakan itu baik, dan menjadi jelek jika orang yang mengucapkannya itu buruk. Kemudian dikuatkan lagi pendapatnya itu dalam kitab Risalah Muffasshalah bahwa syair itu dapat meluruskan lisan, dan membuat orang fasih dalam berkata, serta menghaluskan hatinya dalam suatu waktu tertentu dan akan dapat memperoleh kesaksian terhadap apa yang ingin ia jelaskan.
            Ketika banyak orang mengkritik al-Qabisi bahwa ia tidak memperhatikan masalah pendidikan kesenian, maka ia menjawab bahwa pelajaran syair itu sesungguhnya adalah pndidikan seni keindahan, yang jika diajarkan maka tidaklah hilang seni tersebut. Pelajaran ini dikaitkan dengan pelajaran khatt (tulisan indah) yang merupakan seni keindahan luas di wilayah negara maghribi.Khatt adalah juga termasuk pendidikan seni keindahan.
            Tidak diragukan lagi bahwa pandangan tersebut diatas mendorong perhatian kita kepada pentingnya pendidikan seni keindahan itu yang tidak bertentangan dengan agma.Alasan ini sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan modern yang menyatakan bahwa mendidik anak dengan seni-budaya membuat mereka dapat mengetahui / mengenal kebaikan. Dan mengajarkan sejarah bangsa Arab tidak ada seorang pun yang melarang atau menentangnya, karena sejarah ini mengandung pengetahuan tentang tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin yang berjiwa pahlawan dan kesatria, yang bagi anak-anak dapat mendidik rasa mencintai kepahlawanan dan dapat mendorongnya ke arah berbuat baik seperti para pahlawan.
            Maka dari itu jelaslah pendapat al-Qabisi tersebut bahwa ia memilih dengan teliti bahan-bahan kurikulum pendidikan anak-anak yang benar-benar sesuai dengan kemampuan mereka. Pandangan mazhab ahli sunnah tentang bahan-bahan kurikulum anak-anak selalu disesuaikan dengan kondisi anak tersebut, oleh karena tujuan umum yang dipegangi oleh beliau adalah bertujuan mengembangkan kekuatan akhlaq anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, serta berprilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni.
F.      Kritik Terhadap Kurikulum Al-Qabisi
Metode dan Teknik Belajar
            Selain membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal alquran dan belajar menulis langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at.Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
            Al-Qabisi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi. Belajar dengan menghafal adalah cara pengajaran yang amat diperhatikan oleh pendidikan modern sekarang. Di antara ketetapannya adalah pemahaman terhadap pelajaran dengan baik akan mmbantu hapalan yang baik. Pendidikan modern sekarang ini menganjurkan agar mengajar anak dengan cara menghafalkan pelajaran agar mereka memahami maksudnya secara jelas.
            Salah satu bukti yang jelas bahwa kurikulum di Al-Kuttab Islam berisi bahan-bahan ilmu pengetahuan yang wajib dihapal dan diingat.Di dalam al-Kuttab itu hanya diajarkan ilmu-ilmu alquran tulis menulis nahwu, bahasa Arab, syair, dan sejarah bangsa Arab (Islam) yang termasuk ilmu-ilmu lafdziyah. Ilmu-ilmu itu harus dibaca,dipahami dan diingat-ingat. Maka jelaslah bahwa kurikulum al-Kuttab itu mementingkan penggunaan metoda hapalan.Karena menurut al-Qabisi menghafal merupakan salah satu metoda yang paling baik dan sesuai dengan pendapat modern yang menyatakan bahwa metode hapalan didasarkan atas pengulangan, kecenderungan dan pemahaman terhadap bahan pelajaran.
            Adapun pentingnya pengulangan itu didasarkan kepada sebuah hadis Nabi saw tentang menghapalkan alquran, yang diumpamakan untuk yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat, dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.” Jika orang yang hafal alquran di waktu malam dan siang hari mengulanginya, maka ia akan mengingatnya, dan jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan melupakannya (hilang hapalannya).
            Berkaitan denga hadits itu, al-Qabisi menyatakan ; “Sesungguhnya Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya yang tersebut diatas tentang cara-cara mengingat yang dapat memantapkan hapalan alquran, sehingga ia tak perlu belajar lagi secara berulang-ulang”.
            Ucapan al-Qabisi tersebut menunjukkan secara jelas tahap-tahap mengingat yaitu mula-mula menghapal, lalu memahami artinya, kemudian mengulangi lagi.Adapun yang dimaksud dengan “kecenderungan” (al-mailu) di atas ialah rasa mencintai alquranulkarim yakni anak tertarik kepada membacanya.
            Menurut al-Qabisi yang dimaksud dengan “pemahaman” (al-fahmu) diatas adalah tartil (mengerti bacaan) dalam membaca dan pemahamannya secara serius. Adapun pembacaan yang dengan cara tartil itu membantu kemampuan untuk merenungkan isi alquran yang telah diturunkan oleh Allah.

5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
            Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
            Sahnun, seorang ahli pendidikan Islam (yang juga guru dari al-Qabisi) abad ke 3 Hijriyah berpendapat (yang juga dinukil oleh al-Qabisi) bahwa :”Guru yang paling tidak disukai ialah guru yang mengajar anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka bercampur dengan anak lelaki remaja, maka hal ini akan mendatangkan kerusakan terutama bagi anak perempuan remaja”.[6]
            Salah satu alasan mengapa al-Qabisi berpegang teguh pada pendapatnya; karena ia khawatir kalau anak-anak itu sendiri menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi caitus) kecuali bila anak remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa).
            Namun al-Qabisi tidak menjelaskan pendapatnya tentang kerendahan derajat jenis kelamin.Ia memberikan arahan kepada guru tentang kebebasan melaksanakan pola berdasarkan kebijaksanaanya, dan sesuai dengan metoda yang ia gunakan dalam menangani pergaulan antara anak kecil dengan yang sudah baligh itu namun ditinjau dari segi lain apakah menimbulkan degradasi atau tidak. Jika tidak mengalami kerusakan moral maka percampuran itu tidak berlangsung di Al-Kuttab, maka keharusan mengajar anak perempuan sangat dianjurkan, karena anak perempuan harus mengerti agama dan pelaksanaan ibadah.Keadaan demikian itu juga termasuk tugas pendidikan di rumah-rumah (pendidikan keluarga).
            Jelaslah pendapat al-Qabisi bahwa sesungguhnya dorongan jiwa anak terhadap jenis kelamin lain dapat merubah sikap akhlak dan agamanya, sebab pemenuhan dorongan jenis kelamin merupakan tenaga yang kuat dalam jiwa remaja, bahkan mungkin menindas dorongan ini dengan menggunakan kekuatan dorongan yang lain dalam diri remaja (dapat juga dilakukan) akan tetapi ilmu jiwa pendidikan pada masa itu belum mencapai tingkat kemajuan seperti sekarang.[7]


[2]http://nyongandikahendra.blogspot.com/2009/12/dahsyatnya-pemikiran-manajemen.html
[3]Ali Al-Jambulati dan Abdul Futuh Al-Tuwasaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam.  PT Rineka Cipta. Jakarta
[5] Ali Al-Jambulati dan Abdul Futuh Al-Tuwasaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam.  PT Rineka Cipta. Jakarta. Hal 81-88